Rezeki Allah terhadap Makhluk

Allah SWT memberi rezeki kepada makhluk-Nya dengan empat cara :

1. Tingkat rezeki pertama, yaitu yang dijamin oleh Allah.
“Tidak suatu binatangpun (termasuk manusia) yg bergerak di atas bumi ini yang tidak dijamin oleh Allah rezekinya.” (QS. Hud: 6).

2. Tingkat rezeki kedua, yaitu yang didapat sesuai dengan apa yang diusahakan.
“Tidaklah manusia mendapat apa-apa kecuali apa yang telah dikerjakannya” (QS. An-Najm: 39).

3. Tingkat rezeki ketiga, yaitu rezeki lebih bagi orang-orang yang pandai bersyukur.
“… Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.” (QS. Ibrahim: 7)

4. Tingkat rezeki keempat, yaitu rezeki istimewa dari arah yang tidak disangka-sangka bagi orang-orang yang bertakwa dan bertawakal pada Allah swt.
“…Barangsiapa yang bertaqwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezki dari arah yg tiada disangka-sangkanya. Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan) nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan (yang dikehendaki) Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu.” (QS.Ath-Thalaq:2-3)

Pengabulan Doa oleh Allah swt

Allah mengabulkan doa dengan tiga cara :

1) Allah mengabulkan secara langsung doa yang dipanjatkan;
2) Allah menunda untuk mengabulkan doa tersebut;
3) Allah menggantikan doa tersebut dengan sesuatu yang lebih baik.

Meski demikian, pernahkan kita merenung mengapa doa-doa kita tidak kunjung diijabah?
Allah sungguh Maha Penyayang yang sangat mengerti keinginan setiap hamba-Nya.
Namun, hendaknya tidak dikabulkannya doa juga menjadi bahan untuk muhasabah.

Kita kadang mengeluhkan mengapa sholat kita tidak mencegah kita dari perkara keji dan mungkar? Mari kita tilik sudah benar belum kita melaksanakannya?

Dikisahkan dahulu ada seseorang yang sangat taat pada Allah swt, tapi mengapa ketika ia berdoa tak kunjung diijabah? Mari coba perhatikan apa yang ia makan dan ia kenakan. Barang syubhat pun kadangkala menghalangi kebaikan untuk datang pada kita, bagaimana dengan yang haram?

Menjaga Kesucian Diri ketika Bermuamalah dengan Manusia

Uzlah adalah menjauhi manusia tanpa meninggalkan jamaah (Fudhail bin Iyadh). Begitu pula zuhud, menjaga kesederhanaan diri kerita berada di tengah kekayaan, berusaha agar menaruh dunia ada pada tangan bukan pada hati. Menjaga kesucian diri ketika bersama manusia adalah hal yang sangat sulit. Manusia akan mengetahui bahwa kita sedang membawa air yang jernih. Manusia membenci sesuatu yang lebih indah dari apa yang mereka miliki. Umumnya air jika diobok-obok maka sedikit sekali yang masih jernih. Ya Allah jadikanlah kami yang selalu menjernihkan sekitar kita bukan malah menjadi keruh karena sekitar. Mirip-mirip pesan ayahanda B.J. Habibie. Kejernihan hanya didapat pada balita dan manula. Jangan mengharapkan itu pada pemuda/i yang masih segar, yang masih bergelora, yang masih berhasrat untuk memenangkan kehidupan. Saya takut tindakan saya nantinya tidak mencerminkan apa yang saya katakan. Namun untuk sejauh ini saya selalu mengatakan apa yang saya sudah rasakan. Manusia tempatnya salah, bukan berarti kita hanya diam saja. Dalam surah Al Ashr Allah swt memerintahkan hamba-Nya agar saling menasehati dalam kebaikan dan kesabaran. Dosa manusia berbeda-beda, itulah mengapa kita diminta untuk saling menasehati. Jika kita menunggu nasihat dari orang yang sempurna, maka tidak akan pernah ada dakwah di dunia ini. Sebenarnya bukan seberapa ilmu yang didapat, melainkan berserta pengamalannya. Tidak ada niatan untuk menyindir seseorang, justru saya tersindir dengan perkataan saya sendiri.
وَلْتَكُن مِّنكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ ۚ وَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ (آل عمران : ١٠٤)

Bacalah

Kata “Iqro'” dalam wahyu pertama yang Allah turunkan, sangat sempit maknanya jika hanya diartikan “membaca”. Sebodoh apa Allah swt menyuruh hamba-Nya agar membaca saja? Pada waktu itu memang prosesnya Rasulullah saw mengikutinya menggunakan lisan, tapi apa sebatas lisan saja yang bergerak? Toh, seluruh sifat Rasulullah saw tergambar jelas dalam Al Qur’an dan menurut istri termuda dan tercintanya Rasulullah saw, Aisyah ra, Rasulullah saw adalah Al Qur’an berjalan.

Membaca disini adalah kita membuka hati kita lebar-lebar, melapangkan dada kita, mensyukuri seluruh indera yang Allah swt berikan pada kita dengan cara memaksimalkan penggunaannya untuk Allah swt semata, agar supaya kita peka terhadap lingkungan sekitar. Toh, Allah swt menyisipkan pesan di setiap ciptaan-Nya, jika kita mau mendengar maka akan terdengar, bahkan sampai yang terkecil sekalipun. Ilmu Allah tidak terbatas pada kitab-kitab saja. Kitab hanyalah diwan yang disusun oleh orang-orang yang peka terhadap lingkungan sekitar. Dan kita sebagai penikmat, kita akan terbagi menjadi bermacam-macam. Ada yang sekedar menganggukkan kepala, ada juga yang turut merasakan apa yang pengarang buku rasakan. Tapi sebagai orang yang merasa kepekaan atau kecerdasannya jauh dari kata sempurna, kita seyogyanya untuk kembali muhasabah, mengikuti jejak ulama salafus sholih.

Mari berdiskusi di kolom komentar di blog saya, jangan lupa untuk berkunjung. Blog saya open house bukan hanya pas lebaran saja.

Sense of Belonging

Pernah mendengar jika kita tidak dianggap di suatu tempat maka berpindahlah? Pernah juga mendengar kecerdasan itu tidak bisa diukur dengan satu nilai, jika iya maka ikan akan selamanya dianggap bodoh ketika diminta untuk memanjat pohon? Memang sesuatu yang pas bukan berarti disitulah tempatnya. Seperti satu iris jeruk jika digabungkan dengan irisan-irisan bawang putih maka akan menjadi satu padu, tapi apakah bersama bawang putih tersebut jeruk akan menjadi jeruk?

Saya ingin menceritakan hal kecil yang jarang sekali kita perhatikan dan sadari. Jika kita sering mendapati warga Mesir yang jahat terhadap kita, maka tidak elok jika kita memukul rata semuanya. Masih banyak dan bahkan lebih banyak jumlahnya mereka yang sering pergi ke masjid, mereka jadikan pinggir-pinggir jalan sebagai masjid. Masih banyak Musa dibanding Firaun, insya Allah.

Saya akan memulai dan mengambil tema tulisan saya kali ini dari pakaian yang biasa saya kenakan. Disini saya sering mengenakan sarung kemudian koko putih bertuliskan الحكمة di bagian punggung kanan atas (almamater), kemudian songkok ukuran tinggi 12 cm.

Pertama sarung, mungkin disini amat jarang bahkan tidak ada warga Mesir yang mengenakan sarung. Disamping bentuknya yang menyerupai rok wanita, dikabarkan juga pakaian satu ini dikhususkan bagi bapak-bapak yang ingin jimak. Alamak, malu benar jika memang begitu. Saya terkadang bahkan sering nekad mengenakannya di jalanan, beresiko ditertawakan memang apalagi banyak orang jahil disini. Sebenarnya niat saya hanya ingin melestarikan pakaian adat santri di negara saya.

Kedua koko bertuliskan الحكمة, alhamdulillah kali ini tidak begitu nahas jika dibanding sarung sebelumnya. Pada bagian ini warga Mesir justru sangat menyukai pakaian ini. Disamping warnanya yang putih, menunjukkan kesucian, di bagian punggung kanan atas juga tertera tulisan الحكمة, kita warga Indo apalagi yang tidak mengetahui maknanya pasti akan merasa biasa saja, padahal filosofi makna الحكمة itu bagi penutur asli Arab itu sangat mendalam.

Ketiga peci, karena peci dengan ukuran tinggi disini diidentikan dengan sufi, maka jangan heran jika kita mengenakannya lalu banyak orang yang terpikat.

“Aji ning rogo soko busono lan aji ning ati soko lathi” yang kurang lebih artinya “Kekuatan kebaikan raga berasal dari cara berbusana dan kekuatan kebaikan hati berasal dari ucapan”.

Lebarannya Warga Mesir

Mungkin sekilas, kita sebagai warga Masisir (warga Indo yang ngaku-ngaku Mesir), tidak menyadari adanya kemeriahan warga Mesir dalam merayakan lebaran. Mindset kita sudah terpaku dengan pikiran negatif kita terhadap warga Mesir. Dimulai sejak setelah sholat ied, kita tidak mendapati warga Mesir saling bersalam-salaman. Kita hanya mendapati jalanan sepi. Tapi apakah kita menyadari bahwa sepinya jalanan itu yang menunjukkan mereka tengah merayakan lebaran yang kita tidak tahu bagaimana caranya. Kemudian beralih ke uang kembalian yang biasa saya dapat dari warung, berupa uang kertas baru layaknya warga Indo dalam tradisi pecingan. Saya sendiri malu membeli makanan dengan uang lecek sedangkan uang kembaliannya mlimping. Kemudian -jika kita mau memperhatikan- terutama anak-anak kecil Mesir, mereka mengenakan pakaian baru terlihat seperti sengaja dibeli untuk hari lebaran. Dan jika kita masih mendapati orang Mesir berjualan di hari raya, lalu apa salahnya? Terkadang kita saling membenci karena pikiran negatif kita.

Jaga Baik Kertas Putih Itu, Jangan Sampai Ada Noda

Berasa gak sih? Setan mulai membisiki kita, di saat kita sudah bersalam-salaman dan meminta maaf dengan teman-teman. Kita di hari yang fitri ini kembali menjadi fitri seperti bayi yang baru dilahirkan karena kita sudah berjuang mensucikan diri di Bulan Ramadhan. Kemudian ada hasrat untuk melakukan hal kejelekan, seperti menyakiti hati teman. Coba perhatikan mulai dari semenjak kita bersalaman, kita bagaikan kertas putih yang kosong, kita perhatikan kertas putih itu dan lihat tetes demi tetes noda hitam melumurinya, akan terasa sekali. Berbeda sekali ketika sebelum kita bersalam-salaman, dosa kita seakan menumpuk, jadi ketika kita melakukan dosa yang lain pun kita tidak akan sadar, ibarat buku tulis lama yang sudah kadung bercoretkan tulisan tangan yang jelek, pasti si pemilik ogah untuk memperhatikan kebagusannya. Sekarang tahun ajaran baru, buku tulis kita baru, tulis dengan rapi cerita Anda beserta keluarga dan teman-teman Anda sekalian. Semoga buku tulis baru kita ini terjaga rapi dan bersih sampai khatam dan berganti buku tulis baru lagi. Tidak ada yang tahu kita akan meninggalkan buku tulis ini di halaman depan, tengah atau akhir. Teruslah berbuat baik. Ushikum wa iyyaya bi taqwallah. Astaghfirullah min qoulin bila ‘amalin.

Bukan Surat Cinta Lagi, Cinta Anak Lanang untuk Umi dari Benua yang Berbeda

Umi, umi yang sekarang bukan yang dulu lagi.
Umi yang dulu saya lihat di foto pernikahan terlihat begitu cantik dan langsing, sekarang tidak, itu semua karena demi melahirkan Fadhlu kemudian adik-adik Fadhlu.

Umi, umi yang sekarang bukan yang dulu lagi. Umi layaknya seorang wanita yang ingin berdandan dan terlihat cantik, namun umi lebih memilih agar putra-putrinya tumbuh dengan akhlak karimah.

Umi, umi yang dulu sangat segar bugar, sekarang kebebasannya kita rampas dengan selalu mengeluhkan masalah-masalah kita pada umi. Umi yang hanya seorang wanita mampu menanggung beban pikiran anak-anaknya.

Umi, Fadhlu sayang umi. Maaf Fadhlu masih cengeng, Fadhlu masih suka nangis kalau ingat umi. Umi semoga Allah swt selalu menyayangimu seperti Umi dan Abah menyayangi Fadhlu dan adik-adik Fadhlu di waktu kecil, dan semoga Allah swt mengampuni dosa kita dan menempatkan di tempat yang istimewa.

Terima kasih umi, dari jauh Fadhlu ucapkan. Mohon maaf kalau Fadhlu belum bisa jadi anak yang baik, belum bisa jadi kakak yang baik buat adik-adik Fadhlu. Umi, semoga lebaran tahun depan kita berjumpa lagi.

Kemana Lailatul Qadar-mu Itu?

Aku sih mikirnya orang yang semangat ibadah di sepuluh malam-malam ganjil Ramadhan agar bisa mendapatkan lailatul qodar. Pada waktu itu merasa diri menjadi terpilih, merasa dirinya lah sehebat-hebatnya orang yang bertaqwa. Tapi jika setelah Ramadhan usai, ia masih tak bertaqwa. Lalu ia kemanakan lailatul qodar yang katanya telah ia dapatkan pada waktu itu?

-ūshīkum wa iyyāya bitaqwallāh-

*pgn posting keadaan sahabat Rasul sebelum dan sesudah Ramadhan, sepertinya saya sudah pernah mempostingnya tahun lalu.

Para Pejuang Agama Allah yang Tak Terlihat

Kisah 1

Masjid Azhar tengah direnovasi. Sebagian telah selesai dan sebagian belum. Tempat sholat wanita itu termasuk yang belum. Sementara mereka sholat di bagian luar yang tanpa atap.

Dzuhur hari, panas yang sangat terik. Terlihat wanita tua seorang diri sholat sunnah qobliyah. Oh betapa cintanya beliau terhadap Tuhannya.

Kisah 2

Perawakannya kurus, kakinya pincang, jalannya tergopoh-gopoh, untuk bisa berdiri lama pun sangat butuh pengorbanan. Pernah sesekali saya berada di sampingnya. Tubuhnya hampir roboh. Saya tarik. Selalu memakai peci merah dan *jubah*nya itu. *jubah bagi warga Mesir itu sudah menjadi pakaian adat*. Selalu meminum air dari botol kusam yang selalu ia bawa. Niat hati ingin membelikan yang baru namun sampai sekarang tak sempat. Dalam hati bertanya dimana beliau tinggal? Bersama siapa? Bagaimana ia menjalani hidup? Pernah saya temui beliau sedang berjalan menuju masjid, nampaknya masjid adalah tempat favoritnya. Aduhai, saya sangat teramat iri terhadapnya. Mungkin beliau tidak punyai kesempatan untuk riya di depan manusia, jangankan untuk riya, untuk dilihat orang pun mungkin beliau hanya berharap sedikit. Beliau berharap penuh kepada Tuhannya. Bagaimana saya? Untuk menghindari keramaian pun saya tak sanggup.