Perubahan itu Pasti

Perubahan itu pasti. Segala sesuatu di dunia ini pasti berubah kecuali perubahan itu sendiri. Hanya perubahan yang tidak akan berubah, ia akan selalu ada karena ia adalah sifat tetap milik makhluk selama mereka masih hidup di dunia ini. Makhluk itu berubah, yang tetap itu Allah swt. Manusia atau sebuah lembaga untuk bisa berkembanh dan survive di muka bumi ini maka dibutuhkan adanya perubahan.

Saya menuliskan ini karena hati saya merasa tersentil ketika mendengar bahwasannya Al Azhar tempat saya menimba ilmu diremehkan dengan beralasan Al Azhar tempo ini sudah tidak sama lagi dengan tempo dulu. Mereka mengambil contoh seperti pengambilan hukum pada empat madzhab fiqih yang telah disepakati oleh ahlussunnah. Al Azhar tempo dulu hanya berlandaskan pada empat itu saja, tidak seperti Al Azhar sekarang yang bermadzhab delapan alias jika empat madzhab tersebut dirasa tidak cukup maka boleh mengambil hukum dari empat madzhab lain tentunya yang sudah ditentukan.

Mari kita qiyaskan dengan apa yang ada di sekitar kita.

MAK Al Hikmah 2 Benda, apakah MAK sekarang masih sama dengan MAK tempo dulu? Saya yakin tidak. Apalagi saya sendiri melihat perkembangan MAK dari tahun ke tahun selama tujuh tahun. Tapi apakah citra ke-MAK-annya itu hilang? Tidak, sama sekali tidak.

Pon. Pes. Al Hikmah 2 Benda, apakah masih sama dengan Al Hikmah 2 tujuh tahun lalu? Saya rasa tidak. Atmosfir mungkin sudah berbeda tapi selama kita masih menghirup oksigen di dalamnya lalu apa salahnya?

Sekarang jika Al Azhar masih sama dengan Al Azhar sebelum-sebelumnya, apakah Al Azhar masih bisa survive, masih bisa menaungi umat islam yang ada di dunia ini seiring berkembangnya zaman? Coba difikir ulang.

Al Azhar mengambil empat madzhab lain itu bukan berarti Al Azhar keluar dari para ulama madzhab / mujtahid yang kepintaran jauh luar biasa dibandingkan ulama zaman sekarang, tidak! Al Azhar hanya menemukan persoalan di era modern ini yang mana jika hanya masih bermadzab empat itu saja maka akan ditemukan kesukaran untuk memecahkannya. Bukan berarti Al Azhar menggampangkan dalam berfatwa atau dalam pengambilan dalil. Al Azhar pun tidak ingin jika harus keluar dari empat madzhab yang muttafaq ‘alaihi, tapi jika memang urgent dan diperlukan, apakah harus memaksa? Justru jika memaksa maka akan salah dalam berfatwa atau pengambilan hukum itu.

Pihak yang mengatakan seperti itu pada Al Azhar merupakan lembaga yang sangat berpegang teguh dengan satu madzhab tapi tidak menutup kemungkinan untuk mengambil dalil dari tiga madzhab lain. Saya sendiri pun tidak menyalahkannya, justru membenarkannya, Al Azhar pun mengambil langkah yang sama, hanya saja Al Azhar lebih sedikit melebarkan sayapnya karena memang urgent dan itu yang mereka tidak bisa terima. Mungkin karena permasalahan agama yang mereka hadapi baru lah sedikit atau mereka belum baca banyak buku, saya pun tak tahu.

Tapi jika Al Azhar mengutus utusan dan pihak lain pun melakukan hal yang sama pada suatu umat non-muslim untuk berdakwah, saya yakin Al Azhar akan menang banyak. Tapi bisa jadi tidak, karena mungkin manhaj Al Azharnya sudah benar namun akhlak dari da’i tersebut tidak seperti yang islam ajarkan. Karena Rasulullah saw diutus oleh Allah untuk menyempurnakan akhlak dan barangsiapa yang mengunggulimu dalam hal akhlak, ia mengunggulimu dalam hal agama.

Saya tegaskan sekali lagi, saya tidak fanatik, saya pun membenarkan apa yang mereka jalani kecuali yang menurut saya salah. Saya hanya membela tempat dimana saya dibesarkan karena menurut saya perlu dibela, jika Al Azhar salah pun maka saya akan lepas tangan karena bukan level saya untuk men-judge lembaga sebesar Al Azhar. Saya pun diatas tidak sedang menyalahkan lembaga yang bersangkutan, saya hanya tidak sependapat dengan salah seorang peserta didiknya yang mengutarakan pendapat itu.

Sekian, mohon maaf jika ada salah, mohon pembenarannya, karena kebenaran hanya milik Allah swt semata, kita hanya dipersilahkan dan dipermainkan untuk memainkan peran kita dan menjalani skenario yang telah Ia tetapkan. Akhir kalam, wassalamu’alaikum.

Untuk Mereka yang Selalu Mengintai Kami (Antar Dua Akademisi Pencetak Ulama)

Mengapa pemikiran mereka terkesan seperti diseragamkan? Apakah ini hasil doktrinisasi? Apakah ada pelajaran khusus untuk mengkritisi kami? Adakah di sana di tempat mereka -walaupun sedikit- yang memihak kepada kami? Adakah kebaikan pada diri kami -walaupun sedikit- di mata mereka? Apakah kebenaran hanya milik mereka? Apakah mereka merasa terbaik dan terpilih? Ada dendam apa leluhur mereka dengan leluhur kami?

“Bulik..!”

Saya biasa memanggilnya Bulik Jibah. Beliau adalah bulik saya (Ibu Cilik). Mungkin bagi kalian itu hanya sebutan dari keponakan kepada buliknya. Tapi bagi saya sebutan itu memang pantas saya sandingkan untuk beliau. Beliau adalah sandaran hidup saya, harapan saya untuk bisa terus hidup, pelipur lara. Saya dahulu adalah seorang anak yang banyak menghabiskan waktunya di rumah. Tentunya keluarga adalah teman satu-satunya yang saya miliki. Saya korbankan kebahagiaan masa kecil saya, mengharap ada kebahagiaan lain yang menanti sebagai ganti. Tempat favorit saya kala itu adalah rumah nenek saya. Di sana saya bisa bertemu dengan bude, pade, bulik dan um saya. Sebagai seorang bocah yang semenjak kecil memingit diri dalam rumah, tentunya saya tidak mengetahui sama sekali bagaimana orang lain menjalani kehidupan mereka. Saya hanya bisa merekam apa yang keluarga besar nenek saya lakukan. Waktu itu saya adalah cucu terbesar di keluarga itu. Layaknya anak kecil lain yang tidak terlepas dari berbuat salah, saya pun terkadang atau justru mungkin sering melakukan salah, terbukti saya masih ingat betul saya lebih sering menangis daripada tertawa kala itu. Sebagai anak kecil yang tidak mempunyai kakak, maka tempat pelarian jika saya sedang bersedih seharusnya pada seseorang yang lebih tua (dewasa) yang sanggup meneduhkan hati saya yang sedang gundah gulana. Ini sekaligus menjadi sebuah pesan untuk semua orang tua yang sedang membesarkan anaknya, bahwa ketika anak bersedih yang ia harapkan hanyalah kasih sayang agar kesalahan yang ia perbuat tidak terulang kembali, namun kebanyakan orang tua salah cara untuk menyampaikannya, mereka lebih suka meneriaki anaknya karena kesal dengan tangisannya.

Bulik, adalah kata yang paling sering saya sebutkan di masa kecil saya. Terdengar begitu indah di telinga ketika sang pemilik nama tiba di hadapan saya. Sungguh! Ketika hati meronta-ronta kesakitan berharap ada yang bisa memeluknya, beliau lah bidadari yang Allah utus untuk saya. Padahal kala itu saya hanyalah seorang anak kecil yang tidak punya daya apapun, dan mungkin saya kala itu tidak memberi keuntungan apapun pada bulik saya, tapi rasa cinta bulik saya terhadap saya itu yang sangat luar biasa yang tidak saya dapatkan dari orang lain selainnya. Mungkin secara lahir beliau hanya memberi sedikit, tapi ketahuilah bulik -jika engkau membaca ini- engkaulah yang menguatkan hati ini ketika rasa putus asa untuk melanjutkan hidup menghampiri. Sebenarnya tanpa engkau sebutkan lagi apa jasa-jasamu padaku kala itu, pastilah saya akan lebih banyak menghafalnya dari engkau. Bulik, jika engkau membaca tulisan saya ini, saya ingin engkau tahu bahwa saya sangat menyayangi bulik. Maaf jika selama saya menjalani hidup saya belum bisa membalas jasa-jasa bulik. Saya berdoa semoga kita dipertemukan kembali di surga-Nya.