Antara Bakat dan Hasrat

FB_IMG_1456798153007

Saya itu dulu suka sekali dengan yang namanya bermain musik.
Di Madrasah Ibtidaiyyah atau yang biasa kita sebut MI, saya ikut grup Marching Band milik sekolah.
Awalnya saya tidak mendapat bagian memegang salah satu alat musik pada waktu itu. Tapi saya selalu berangkat untuk berlatih walaupun setelah itu saya harus kembali mengayuh sepeda untuk mengikuti les Bahasa Inggris dan Matematika.

Alasan mengapa saya sempat tidak mendapat bagian itu dikarenakan pelatihan yang sekolah selenggarakan itu hanya bonus dari pembelian alat-alat musik di CV tersebut. Jadi hanya sekedar beberapa orang untuk dilatih.

Tetapi beruntungnya saya karena saya kebetulan putra dari Kepala Madrasah, ketika itu Ayah saya atau yang biasa saya sebut Abah sedang menyempatkan waktunya untuk melihat perkembangan sekolah dan mendapati saya yang setiap sore hari berkeringat namun ternyata hanya sekedar peluh yang bercucuran. seketika itu Abah saya menghampiri sang pelatih dan memperkenalkan anak sulungnya yaitu saya. wajah sang pelatih terlihat kikuk dan langsung mengambil snare drum yang tergantung pada bahu siswa lain dan meletakkannya di bahu saya. saya pun berlatih. yang waktu itu saya rasakan adalah rasa senang bukan karena Abah saya dan berhasil mendapar bagian seperti yang lain, akan tetapi saya sangat merasa senang karena memang bermain musik adalah keinginan terbesar saya yang muncul secara tiba-tiba dan murni dari hati saya. Akhirnya snare drum lah yang pertama kali saya bawakan sebelum setelahnya saya menjajal alat musik lain.

Masa tenggang bonus pelatihan pun berakhir, pelatih sekarang sudah digantikan oleh guru asli madrasah yaitu Ust. Syamsuddin. Dan yang lebih menyenangkan lagi teman-teman yang lain bisa ikut andil dalam kesempatan ini karena tidak terbatas oleh masa bonus pelatihan apapun, karena memang ini adalah program sekolah yang bersifat flexible.

Di lain kesempatan saya pun pernah mencoba cymbals, namun saya tidak bertahan lama karena bermain cymbals itu tidak ada asyiknya dan membosankan. Saya pun meminta pada sang pelatih agar memindahkan saya kembali pada snare drum.

Begitu terus berjalan hingga ketika saya menonton latihan drum band tetangga sekolah, saya mendapati satu anak laki-laki memegang kendali pianika, seketika itu saya merasa tertarik dan rasa ingin mencoba hal baru mendadak meningkat, tak sabar untuk segera berganti hari dan memulai latihan.
Saya iri padanya yang berkuasa penuh memainkan pianika sesuka hati. Walapun pada waktu itu memainkan pianika, marching bell merupakan sebuah pandangan miring untuk laki-laki. Itu yang menjadi pertanyaan besar saya yang belum terjawab hingga saat ini. Padahal tidak ada hukum internasional yang menetapkan itu menjadi peraturan bersama. Pemain Drum Band tingkat Nasional pun bebas berkreasi. Sudah, lupakan!

Permintaan saya pun akhirnya dipenuhi oleh sang pelatih namun bukan pianika yang saya pegang melainkan marching bell. Kalian tahu alasannya? karena berbeda dengan tetangga sekolah yang sudah saya sebutkan, di sekolah kami pianika adalah bukan milik pribadi masing-masing, melainkan milik sekolah. jadi tidak mungkin jika bergantian bibir memainkannya dengan para siswi.

Akhirnya saya pun berlatih memainkan marching bell. Di kelas hanya saya siswa laki-laki seorang diri. Namun itu tidak menjadi halangan bagiku untuk terus maju. Satu kata yang tidak bisa hilang dari ingatanku pada waktu itu yaitu Ust. Syamsuddin sang pelatih mengatakan bahwasannya saya justru lebih unggul dari para siswi.

Berlatih marching bell tidak membuat saya berpaling dari snare drum, saya pun masih berlatih memainkannya.

Hal menyenangkan berada di posisiku sekarang ini adalah bisa merasakan berbagai alat musik.
Apalagi ketika disewa untuk arak-arakkan mengelilingi desa. Tidak sedikit yang merasakan capek, membopong beban berat alat musik dan melangkahkan kaki, sehingga pada saat itulah saya yang berperan menjadi pahlawan, haha.. bukan bermaksud sombong tapi hanya sekedar menjalankan hobi saja.

Jadi ketika pemain bellyra kelelahan misalnya, maka saya lah yang akan menggantikannya dengan syarat ada yang menggantikan saya bermain snare drum, begitu seterusnya.

Itu semua tidak berasaskan karena saya mempunyai Abah yang berkedudukan ganda menjadi Kepala Madrasah, tapi memang karena kemampuan dan keinginan saya yang berhasil membuktikan bahwa saya pun bisa.

Tidak semua yang saya rasakan pada waktu itu adalah kesenangan saja. Saya pun turut merasakan sakit hati ketika dipermalukan beberapa teman karena memainkan alat musik perempuan. Hal itu yang membuat saya merasa sangat terpukul, ketika seakan berada di atas awan menjalani hobi namun tiba-tiba cuaca memburuk, petir menyambar. Sakit, rasa sakit bukan main. Tapi tetap saya jalani, karena tidak semua teman begitu. Ada sahabat-sahabat saya yang mendukung saya untuk terus berkarya. Kalimat yang masih saya ingat lagi yang salah satu dari mereka katakan bahwa tidak heran jika Fadhlu cepat menghafal nomor telefon karena sering menghafal notes piano.

Puncak kebahagiaan saya adalah ketika saya dikhitan dan sebelumnya diarak-arak mengelilingi desa diiringi alunan drum band sekolah saya yang pada waktu itu masih dipegang oleh angkatan saya.
Bersama mereka dan berfoto bersama. Bahagia!
Uang dari kondangan saya belikan untuk satu unit komputer dan sebuah pianika. Namun tidak lama saya bermesra-mesraan dengannya, Saya sudah di kelas akhir dan mulai fokus dengan UAMBN.

Lulus dari SD membuat saya berhenti bermain alat musik, terlebih setelah itu saya di sekolahkan di Pondok Pesantren. Drum band hanya ada di lembaga pendidikan SMA, dan saya masih MTs. Untungnya MTs yang saya sekolah di dalamnya, hehe.. mempunyai grup alat musik calung. Saya berharap ketika kelas delapan nanti berkesempatan menjadi OSIS dan memainkan angklungnya. Dan saya bersyukur sempat memainkannya ketika debut di acara MTs yang bertempat di GOR, sebelum akhirnya saya digantikan oleh teman saya karena saya sering enggan berlatih karena kelelahan sepulang dari sekolah di kelas unggulan, cihuyy..

Lulus dari MTs, saya bersekolah di MAK. Saya masih tidak bisa merasakan bermain alat musik lagi. Sampai ketika ada murid dari kelas siswi yang membawa masuk pianika dan memainkannya di sekolah, membuat saya merasa envy.

Sampai sekarang lah saya hanya bisa memainkan semua alat musik yang pernah saya mainkan hanya di dalam mimpi dan angan-angan.