Numpang Curhat – Cacatnya Pengarang Kitab (Kacamata Saya)

Jadi ada suatu statement yang menjelaskan suatu materi yang mana seharusnya pengarang menuliskan contohnya namun tidak, justru menambahkan footnote bahwa contohnya sudah disebutkan di bab ini -mudahnya-.
Dalam hati saya membatin “Yaelah buu bu, ya enak kalo babnya satu bab persis sebelum bab ini, nyatanya udah kelewat satu bab lain, dan dari masing-masing bab pembahasan dan contohnya gak cuma satu dua, tapi seabreg. Gimana saya carinya?”

Sisi lain, pengarang kitab menuntut kita agar kita detail dalam membaca dan masih bersambung memahami dari bab ke bab, karena mereka semua itu saling berkesinambungan.

Tapi yang bikin saya tergelitik adalah panjang footnote-nya gak lebih pendek dari contoh yang seharusnya dituliskan. Kenapa gak elu tulis aja contohnya, atau copast kek? hehe.

Maaf kalo bahasanya kurang santun (tanpa mengurangi rasa ta’dzim saya terhadap ulama dan pengarang kitab), biar enak dibaca dan cuma sekedar hiburan. Terima kasih, silakan melanjutkan aktifitasnya kembali.

Mohon jangan sampai kualat dan ilmunya gak manfaat.

Mencari Kebenaran adalah Pelajaran Hidup

Dikisahkan, suatu hari saya menyaksikan seorang teman sedang mengkritik secara terang-terangan terhadap teman lain yang gemar menonton anime. “Apa sih itu faedahnya menonton anime seperti itu? Tidak ada faedahnya sama sekali.” kira-kira seperti itu ia berkomentar. Karena saya sendiri tidak begitu maniak dengan anime, maka saya masih membiarkannya. Beberapa hari kemudian saya mendapati teman yang dulu pernah mengkritik itu kini duduk bersanding dengan teman yang gemar menonton anime yang kala itu sempat dikritiknya, sedang asyik bersama menonton anime. Saya terkekeh di dalam hati. Bahkan beberapa hari berikutnya saya masih mendapatinya tengah asyik menonton anime, bahkan sendirian tanpa ditemani oleh teman yang menggemari anime itu. Bahkan saya mendapat laporan hingga ke materi-materi yang ia sampaikan pada bimbel yang ia ampu pun, ia kerap membanding-bandingan materi-materinya dengan anime, bahkan hingga meledek anak-anak didiknya jika mereka tidak mengetahuinya.

Ok, tidak berhenti hanya sampai disini. Di lain kesempatan, saya menyaksikannya tengah mengkritik fakultas dimana saya belajar. Karena ini bukan anime, ini fakultas yang dimana saya tercatat nama saya di dalamnya, maka hati ini tidak tahu mengapa agak sedikit dongkol mendengarnya, walaupun saya sendiri tidak menyukai fakultas saya, minimalnya saya tidak pernah menjelek-jelekkan fakultas saya. “Apa sih yang dipelajari di fakultas ***? Hanya itu-itu saja. Lalu untuk apa?” kira-kira seperti itu. Beruntung, pada waktu itu ada senior fakultas saya yang tengah berada disitu. Aku perhatikan seniorku itupun kesulitan untuk menjelaskannya. Karena memang harus terjun ke dalamnya dahulu agar turut bisa merasakan apa yang dirasakan oleh orang yang lebih berpengalaman di dalamnya. Dalam hati saya membatin “Andai saja, ia berkesempatan untuk merasakan betapa maremnya berkecimpung di dunia yang seperti anime yang dulu pernah ia kritik.”. Karena saya ini anak yang lemah, yang tidak mempunyai kekuatan apa-apa dibanding mereka-mereka, senior-senior dan junior-junior saya (majas litotes), maka alangkah lebih tenangnya jika saya hanya memendamnya di dalam hati.

Maka jangan salahkan Tuhan jika Ia menganugerahkan saya keahlian dalam menulis dan merangkai kata untuk mengekspresikan kata hati saya. Banyak sekali pelajaran yang bisa dipetik dari tulisan-tulisan saya. Lebih banyak makna tersirat dalam bahasa tubuh saya dibanding makna tersurat. Lebih banyak kata-kata yang saya torehkan dalam tinta daripada kata-kata yang saya lontarkan melalui lidah. Lebih banyak gagasan-gagasan dalam otak saya yang berseliweran daripada gagasan-gagasan yang saya untai dalam bentuk paragraf. Yang masih saya cari tahu kebenarannya, yang tidak tahu sampai kapan akan saya kubur lalu saya taburkan pada dunia. Untuk menjadi seperti saya, maka langkah yang harus ditempuh adalah menggunakan seluruh indera yang sudah Allah swt berikan kepada kita termasuk indera perasa, bukan lidah, melainkan hati. Untuk lidah, persedikitkan penggunaannya. Mata untuk MELIHAT, telinga untuk MENDENGAR, lidah untuk BERKALAM dan hati untuk MERASA. Mari menyelam bersama saya, tapi saya yakin anda tidak akan menyukainya. Jangankan suka, berkendakpun segan. Karena anda sekalian akan dirundung kesedihan yang tiada berujung. Kritik saya secara bijak, maka akan saya pertimbangkan, jika tidak maka akan saya abaikan.

Muhammad Fadhlurrohman Suwondo Renggan Dirjo

Mereka Para Penghuni Langit yang Berada di Bumi

Hati adalah pusat pikiran. Begitu al-Quran menyebutkan. Semakin bersih hati, semakin jernih pula pikiran. Orang yang hidup dengan hati tidak layak untuk hidup di dunia. Mereka tidak seharusnya bertemankan manusia, melainkan malaikat. Mereka akan terlihat bodoh jika mereka berada di dunia. Karena mereka lebih memlih untuk mengalah daripada menyakiti hati orang lain. Namun terkadang orang yang sedang dijaga hatinya itu tidak menyadarinya justru membodoh-bodohinya. Tapi apakah mereka tahu bahwa mereka para pengendali hati sebenarnya bisa melawan namun lebih memilih untuk menahan? Tapi apakah mereka para penghuni bumi tahu, bahwa merekalah sebenarnya yang terlihat sangat bodoh di hadapan para penghuni langit? Sayangnya, mereka tidak mengetahuinya. Sehingga kebatilanlah, permusuhanlah, keegoisanlah, kesombonganlah yang mereka junjung tinggi-tinggi dan mereka unggul-unggulkan. Mereka membuat sesuatu yang berwarna putih menjadi kelabu, sehingga sukar untuk dimengerti. Memang benar manusia adalah makhluk paling hebat, tapi kosong. Setankah dia atau malaikatkah? Namun yang sering terjadi malaikat tak memliki kawan, sedangkan setan menariknya untuk menjadi bagiannya. Hingga akhirnya ajal menghampiri, baru akhirnya mereka menyadari.