Akhirat : Itulah Mengapa Dunia, Mereka Lebih Mencintaimu

Aku ditanya oleh salah satu juniorku. Sore itu kami berdua baru saja menyaksikan film Ketika Cinta Bertasbih season satu dan dua. Rasanya lebih menggelitik perut dan lebih mengkoyak hati ketika kita menyaksikannya dan tahu persis bagaimana kehidupan yang film itu kisahkan. Di tengah pemutaran film kami pun bercakap-cakap ringan, berandai-andai bagaimana keadaan kita setelah ini di masa depan. Rasa takut mulai menyelimuti kami. Rasa sesal, marah dan penuh emosi memenuhi hati kami, memaki diri kami yang tidak tergambar begitu jelas arah masa depannya. Iya, karena memakan bangku kuliah di Universitas Al Azhar yang nota benenya agama tidak menjamin kehidupan kita mendatang. Sedikit sekali prospek yang bisa kita jajahi setelah lulus kuliah nanti karena memang memilih jurusan disini berarti kita memilih untuk fokus di akhirat.

Di dalam film itu diceritakan bahwa lulusan Al Azhar maka sesudahnya harus menjadi pemuka agama. Alamak, pemikiran primitif apa ini? Lagi-lagi masyarakat, iya, tidak ada habisnya jika kita mengikuti ocehan masyarakat. Memang kita diciptakan di dunia untuk akhirat kita. Tapi apakah salah jika kita bertujuan ke akhirat namun dengan jalan dunia? Daripada menggunakan jalan akhirat untuk mendapatkan dunia, itu fatal. Menjadi pengusaha misalnya, penulis atau yang lainnya. Bahkan jika menjadi seorang supir truk lulusan Al Azhar sekalipun, maka apa salahnya? Toh, tujuan akhir kita ada di akhirat. Lalu mengapa mereka begitu meresahkannya? Lalu untuk apa menimba ilmu lama-lama di Al Azhar jika hanya untuk berprofesi menjadi ustadz? Ustadz, kyai dan sebagainya itu bukan profesi bung. Itu adalah amanat yang masyarakat titipkan pada kita. Maka jangan pernah ambil hati jika kita tidak diperlakukan layaknya orang yang berilmu tinggi. Kita berilmu tinggi untuk mereka yang mau menerima saja bung, jika mereka menolak maka tidak usah paksakan diri agar bisa diterima di sisi mereka, doakan saja mereka mendapat hidayah dan berfikiran positif atau biarkan mereka pilih yang lain. Maka juga dengan berilmu tinggi tidak menghalangi diri kita untuk sekedar menikmati kopi bersama dengan tukang-tukang becak mislanya. Apakah salah jika diri kita bermesin kyai dan menutupinya dengan bungkus orang biasa? Gak ada salahnya. Belajar ilmu agama itu bukan untuk dunia. Belajar ilmu agama itu mengetahui bahwa ternyata hidup di dunia itu hanya untuk sementara. Tidak ada yang perlu digebu-gebukan untuk mendapatkannya. Apa sih? Ketenaran? Kekayaan? Mereka yang tenar dan kaya tapi jauh dari Allah tidak sebahagia mereka yang cukup dengan makan satu dua suap nasi tapi dekat dengan Allah.

Banyak jenis orang dalam menimba ilmu agama, ada yang mencarinya agar menjadi pribadi yang baik dari sebelumnya yang buruk. Ada juga yang sudah baik dan ingin menjadi lebih baik lagi. Namun bukan berarti proses mereka menimba ilmu itu selalu berhasil. Banyak mereka yang paham seluk-beluk masalah agama namun masih saja bertingkah seperti orang tak tahu aturan. Karena pada dasarnya ilmu saja tidak cukup, tapi juga perlu diamalkan. Banyak juga orang yang tak berilmu karena tidak berkesempatan baik seperti mereka yang bisa menimba ilmu di pesantren misalnya, tapi mereka beramal kesehariannya seperti malaikat. Jadi, hatilah yang menjadi poros dari kelakuan kita. Jangan-jangan kita berbuat baik pada seseorang namun kita menyembunyikan rasa ujub, dan jangan-jangan mereka yang tidak bisa berkesempatan berbuat baik seperti kita justru mereka yang sebenarnya ikhlas jika mereka bisa membantu. Maka, jadilah keduanya. Bisa membantu dan ikhlas dalam melakukannya.

Kembali ke cerita di awal. Waktu itu adzan maghrib dan kami ingin sholat maghrib berjamaah. Tiba-tiba saja ketika junior saya ingin berwudhu, ia menanyakan bagaimana penampilan dirinya, bukankah ia ideal. Aku jawab saja dengan jujur bahwa ia kecil dan kurus. Lalu ia mengatakan mengapa aku begitu menyakitkan dalam menjawabnya. Aku jawab lagi, lalu harus dengan jawaban apa aku menjawabnya. Haruskah aku berbohong dengan mengatakan bahwa ia berisi dan berotot? Itulah manusia. Mereka menyukai sebuah kejujuran sampai kejujuran itu menimpa diri mereka sendiri, maka akan berubah jadi membencinya. Begitu juga dunia yang bersifat menipu, kita ditipu dengan pujian bahwa kita sudah cukup bahagia berada di dalamnya. Padahal masih ada akhirat, kebenaran yang pahit, bukan dunia, kebatilan yang manis.

Sekian.

Leave a Reply

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *