Saya B.J. Habibie Versi Almamater

IMG-20160408-WA0000

[Part 1]

Mulai dari pemilihan ketua almamater dan pimpinan redaksi buletin almamater.

Waktu itu saya mendapat lima suara dan itu sudah terbilang banyak untuk saya yang masih sangat baru, bahkan senior yang lain pun belum bisa menyaingi saya. lima suara ini berhasil mengantarkan saya menjadi calon pimred bersama dua senior lainnya.

Namun hanya karena saya masih sangat baru waktu itu dan dirasa tidak mumpuni untuk mengemban amanah itu, akhirnya nama saya dihapus begitu saja. padahal mereka belum tahu kalau saya punya sejarah pernah menjadi wartawan sekolah semasa saya masih di bangku SLTA.

Di kepengurusan almamater pun saya diragukan untuk menjadi salah satu pengurus. jangankan almamater, buletin almamater yang tadinya saya hampir jadi pimrednya, saya tidak mendapatkan kursi kosong.

Pada kenyataannya hampir di setiap program selalu saja saya dibutuhkan, baik itu dimintai tolong untuk memotret agenda yang sedang berlangsung lah, karena emang saya punya dasar keterampilan memotret, hingga saya diminta untuk menuliskan berita untuk agenda yang almamater adakan. Halo, siapa saya? Saya hanya anggota yang tidak dilirik sama sekali oleh kalian. Tidak, sama sekali tidak akan pernah saya mau untuk berlelah-lelah dengan apa yang sebenarnya bukan tugas saya.

Di kajian-kajian yang sering diadakan almamater pun saya selalu merasa miris dengan kemampuan menulis yang anggota lain miliki, sebenarnya banyak kesalahan penulisan yang ingin saya sampaikan dari benak saya, namun apa lah saya yang jika berbicara tidak terjamin didengarkannya. Jadi saya hanya mengutarakan sedikit dari sekian banyaknya kesalahan-kesalahan termasuk kesalahan yang sangat menonjol dan jarang alias tidak biasa dibahas. tapi saya sendiri tidak tahu apakah apa yang saya sampaikan membekas di pikiran mereka atau tidak. saya tidak perduli.

Merasa saya ingin menjadi manusia yang berguna, akhirnya saya memberanikan diri untuk mengikuti seleksi perekrutan anggota baru di salah satu buletin yang ada di sini. dan kabar baik saya diterima.

Awalnya saya ragu karena setelah saya berkunjung ke dapur redaksinya saya tidak mendapati apa yang dapur redaksi majalah pesantren dulu saya belajar miliki -yang pernah menolak saya untuk menjadi bagiannya hanya karena saya sudah banyak berorganisasi (redaksi sekolah dan radio) serta program sekolah saya sendiri yang sudah padat dengan seabreg agendanya-.

Keraguan itu saya tepis, karena saya pikir selama hampir setahun ini saya belum bisa menjadi manusia yang berguna. dan untuk masalah prioritas, kuliah dan ngaji adalah prioritas utama, dan organisasi ada setelahnya.

Sekalipun saya gagal pada kuliah saya nantinya -naudzubillah-, maka keputusan saya untuk memilih organisasi sebagai prioritas baru tidak bisa disalahkan begitu saja, karena saya rasa masing-masing dari butuh wadah untuk mengembangakan sumber daya manusia yang kita miliki.

Singkat cerita, saya merasa nyaman, saya merasa dianggap, saya merasa diri saya dinamis, tidak stagnan. saya berterimakasih karena tidak dihiraukannya keberadaan saya sebelumnya bisa mengantarkan saya kepada jalan yang saya rasa saya tersesat di jalan yang benar.

Saya pernah diamanati menjadi tim redaksi suatu kajian keilmuan yang diadakan oleh organisasi terbesar disini, namun saya pikir kembali ini justru sangat merepotkan saya karena jika dibanding kajian itu sendiri, tugas ini membuat saya lebih berdokus pada keredaksian. Akhirnya saya mengundurkan diri karena memang saya lelah dan tidak menyukai sesuatu yang berbau mengikat.

[Part 2]

Beredarlah info lomba debat yang diadakan oleh salah satu almamater yang ada di sini. seketika itu saya sudah tertarik untuk mengikutinya, diperkuat ketika suatu malam saya bermimpi saya berada di panggung lomba debat tersebut, walaupun panggung yang ada dalam mimpi berbeda dengan nyatanya.

beberapa hari setelahnya, belum lama dari hari malam saya bermimpi, waktu itu kalau tidak salah sekitar jam sembilan pagi, kebiasaan saya pada jam segitu saya baru bangun dari tidur, saya tidak sengaja mendengar obrolan kawan-kawan saya bahwa sayalah yang akan mewakili lomba debat tersebut menemani rekan saya. Saya pura-pura saja masih tidur. merasa mimpi itu sebagai petunjuk untuk menerima tawaran tersebut, akhirnya saya menerimanya dengan dibumbui basa basi penolakan di awalnya.

Entah setan apa yang berhasil membujuk saya untuk menerimanya, padahal walaupun saya sering sekali memenangkan lomba debat dan menjadi the best speaker pada masa SMA, tapi debat kali ini bukanlah debat yang sama dengan debat yang dulu saya sering ikuti yaitu berbahasa inggris, kali ini debat berbahasa arab yang nota benenya saya hanya sebatas jago dalam memahami teks berbahasa arab serta mengarang kata ke dalam bentuk tulisan.

Awalnya banyak sekali hujatan-hujatan yang memenuhi telinga saya, mulai dari saya dinilai tidak mampu lah, dan lain-lain. pada saat ini lah saya merasa saya hanya sebuah titik di tengah-tengah papan lukis. Namun beberapa teman seangkatan terus mendukung saya karena mereka tahu saya dulu siapa, mereka teman yang mengerti perasaan serta apa yang teman seperjuangan mereka butuhkan. bukan mereka para senior yang semasa pun hidup dengan saya tidak pernah.

Hanya berbekal rasa percaya diri, saya nekad maju ke depan, tampil dengan lugunya, hingga akhirnya selesai dan kembali menghirup udara kesegaran setelah tegang sebelumnya berada di depan. Di saat ini hati saya bergejolak, otak saya menyimpulkan dari keburukan yang saya tampilkan saya tidak akan bisa lolos menuju ke final, dilihat lagi dari lawan-lawan yang sangat lanyah berbahasa arab sehingga mereka terhias oleh suara fasih mereka. Namun hati saya berbisik kamu akan berjalan selangkah lebih maju, mengingat sebelumnya saya telah meminta restu dari orang tua karena saya ini orangnya serba orang tua jadi sedikit saja perkaranya maka akan saya obrolkan dengan mereka, lalu ketua almamater serta teman-teman seangkatan yang dengan tegas telah mendukung saya sepenuhnya, ditambah dengan keyakinan konyol saya yang sering saya lakukan yaitu mempercayai kalau de javu itu benar adanya.

Merasa saya tidak ingin malu jika ternyata diumumkan tim saya tidak lolos, maka saya putuskan untuk pulang ke rumah. namun pada kenyataannya rekan tim saya menelefon saya dan untung saja pada waktu itu saya masih berada di masjid terdekat dan handphone sengaja tidak saya silent mode karena saya yakin 100% handphone ini akan bunyi nantinya.

Ternyata benar tim saya lolos, saya pun berlari secepat mungkin, dengan keadaan ngos-ngosan saya duduk di kursi panas di atas panggung lomba.

Karena waktu itu final, jadi tema debat masih dirahasiakan, dan ketika diberitahu tema debatnya kebetulan sekali tema debatnya cocok dengan passion yang selama ini saya jalani. Jadi walaupun saya tidak selanyah lawan berbicara setidaknya saya memiliki pengetahuan banyak tentang apa yang sedang saya bawakan. alhasil kami pun menang.

Ucapan selamat kami terima, walaupun masih saja ada yang memandang negatif, berdalih kalau lawannya saja lah yang tidak seberapa ada juga yang berpendapat kalau lomba seperti itu bukan seberapa. Tapi tak apa lah, mereka penonton yang hanya bisa berkomentar seakan-akan mereka menganggap kalau dewan juri itu buta.

Sekian.

Leave a Reply

2 komentar pada “Saya B.J. Habibie Versi Almamater

    • oh ya mas, itu hasil copast dari status fb saya, memang saya kalo di sosmed hanya di kata tertentu saja menggunakan kapital. makasih mas atas koreksinya, dan makasih juga untuk ucapannya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *