Kemana Lailatul Qadar-mu Itu?

Aku sih mikirnya orang yang semangat ibadah di sepuluh malam-malam ganjil Ramadhan agar bisa mendapatkan lailatul qodar. Pada waktu itu merasa diri menjadi terpilih, merasa dirinya lah sehebat-hebatnya orang yang bertaqwa. Tapi jika setelah Ramadhan usai, ia masih tak bertaqwa. Lalu ia kemanakan lailatul qodar yang katanya telah ia dapatkan pada waktu itu?

-ūshīkum wa iyyāya bitaqwallāh-

*pgn posting keadaan sahabat Rasul sebelum dan sesudah Ramadhan, sepertinya saya sudah pernah mempostingnya tahun lalu.

Para Pejuang Agama Allah yang Tak Terlihat

Kisah 1

Masjid Azhar tengah direnovasi. Sebagian telah selesai dan sebagian belum. Tempat sholat wanita itu termasuk yang belum. Sementara mereka sholat di bagian luar yang tanpa atap.

Dzuhur hari, panas yang sangat terik. Terlihat wanita tua seorang diri sholat sunnah qobliyah. Oh betapa cintanya beliau terhadap Tuhannya.

Kisah 2

Perawakannya kurus, kakinya pincang, jalannya tergopoh-gopoh, untuk bisa berdiri lama pun sangat butuh pengorbanan. Pernah sesekali saya berada di sampingnya. Tubuhnya hampir roboh. Saya tarik. Selalu memakai peci merah dan *jubah*nya itu. *jubah bagi warga Mesir itu sudah menjadi pakaian adat*. Selalu meminum air dari botol kusam yang selalu ia bawa. Niat hati ingin membelikan yang baru namun sampai sekarang tak sempat. Dalam hati bertanya dimana beliau tinggal? Bersama siapa? Bagaimana ia menjalani hidup? Pernah saya temui beliau sedang berjalan menuju masjid, nampaknya masjid adalah tempat favoritnya. Aduhai, saya sangat teramat iri terhadapnya. Mungkin beliau tidak punyai kesempatan untuk riya di depan manusia, jangankan untuk riya, untuk dilihat orang pun mungkin beliau hanya berharap sedikit. Beliau berharap penuh kepada Tuhannya. Bagaimana saya? Untuk menghindari keramaian pun saya tak sanggup.

Perubahan itu Pasti

Perubahan itu pasti. Segala sesuatu di dunia ini pasti berubah kecuali perubahan itu sendiri. Hanya perubahan yang tidak akan berubah, ia akan selalu ada karena ia adalah sifat tetap milik makhluk selama mereka masih hidup di dunia ini. Makhluk itu berubah, yang tetap itu Allah swt. Manusia atau sebuah lembaga untuk bisa berkembanh dan survive di muka bumi ini maka dibutuhkan adanya perubahan.

Saya menuliskan ini karena hati saya merasa tersentil ketika mendengar bahwasannya Al Azhar tempat saya menimba ilmu diremehkan dengan beralasan Al Azhar tempo ini sudah tidak sama lagi dengan tempo dulu. Mereka mengambil contoh seperti pengambilan hukum pada empat madzhab fiqih yang telah disepakati oleh ahlussunnah. Al Azhar tempo dulu hanya berlandaskan pada empat itu saja, tidak seperti Al Azhar sekarang yang bermadzhab delapan alias jika empat madzhab tersebut dirasa tidak cukup maka boleh mengambil hukum dari empat madzhab lain tentunya yang sudah ditentukan.

Mari kita qiyaskan dengan apa yang ada di sekitar kita.

MAK Al Hikmah 2 Benda, apakah MAK sekarang masih sama dengan MAK tempo dulu? Saya yakin tidak. Apalagi saya sendiri melihat perkembangan MAK dari tahun ke tahun selama tujuh tahun. Tapi apakah citra ke-MAK-annya itu hilang? Tidak, sama sekali tidak.

Pon. Pes. Al Hikmah 2 Benda, apakah masih sama dengan Al Hikmah 2 tujuh tahun lalu? Saya rasa tidak. Atmosfir mungkin sudah berbeda tapi selama kita masih menghirup oksigen di dalamnya lalu apa salahnya?

Sekarang jika Al Azhar masih sama dengan Al Azhar sebelum-sebelumnya, apakah Al Azhar masih bisa survive, masih bisa menaungi umat islam yang ada di dunia ini seiring berkembangnya zaman? Coba difikir ulang.

Al Azhar mengambil empat madzhab lain itu bukan berarti Al Azhar keluar dari para ulama madzhab / mujtahid yang kepintaran jauh luar biasa dibandingkan ulama zaman sekarang, tidak! Al Azhar hanya menemukan persoalan di era modern ini yang mana jika hanya masih bermadzab empat itu saja maka akan ditemukan kesukaran untuk memecahkannya. Bukan berarti Al Azhar menggampangkan dalam berfatwa atau dalam pengambilan dalil. Al Azhar pun tidak ingin jika harus keluar dari empat madzhab yang muttafaq ‘alaihi, tapi jika memang urgent dan diperlukan, apakah harus memaksa? Justru jika memaksa maka akan salah dalam berfatwa atau pengambilan hukum itu.

Pihak yang mengatakan seperti itu pada Al Azhar merupakan lembaga yang sangat berpegang teguh dengan satu madzhab tapi tidak menutup kemungkinan untuk mengambil dalil dari tiga madzhab lain. Saya sendiri pun tidak menyalahkannya, justru membenarkannya, Al Azhar pun mengambil langkah yang sama, hanya saja Al Azhar lebih sedikit melebarkan sayapnya karena memang urgent dan itu yang mereka tidak bisa terima. Mungkin karena permasalahan agama yang mereka hadapi baru lah sedikit atau mereka belum baca banyak buku, saya pun tak tahu.

Tapi jika Al Azhar mengutus utusan dan pihak lain pun melakukan hal yang sama pada suatu umat non-muslim untuk berdakwah, saya yakin Al Azhar akan menang banyak. Tapi bisa jadi tidak, karena mungkin manhaj Al Azharnya sudah benar namun akhlak dari da’i tersebut tidak seperti yang islam ajarkan. Karena Rasulullah saw diutus oleh Allah untuk menyempurnakan akhlak dan barangsiapa yang mengunggulimu dalam hal akhlak, ia mengunggulimu dalam hal agama.

Saya tegaskan sekali lagi, saya tidak fanatik, saya pun membenarkan apa yang mereka jalani kecuali yang menurut saya salah. Saya hanya membela tempat dimana saya dibesarkan karena menurut saya perlu dibela, jika Al Azhar salah pun maka saya akan lepas tangan karena bukan level saya untuk men-judge lembaga sebesar Al Azhar. Saya pun diatas tidak sedang menyalahkan lembaga yang bersangkutan, saya hanya tidak sependapat dengan salah seorang peserta didiknya yang mengutarakan pendapat itu.

Sekian, mohon maaf jika ada salah, mohon pembenarannya, karena kebenaran hanya milik Allah swt semata, kita hanya dipersilahkan dan dipermainkan untuk memainkan peran kita dan menjalani skenario yang telah Ia tetapkan. Akhir kalam, wassalamu’alaikum.

Untuk Mereka yang Selalu Mengintai Kami (Antar Dua Akademisi Pencetak Ulama)

Mengapa pemikiran mereka terkesan seperti diseragamkan? Apakah ini hasil doktrinisasi? Apakah ada pelajaran khusus untuk mengkritisi kami? Adakah di sana di tempat mereka -walaupun sedikit- yang memihak kepada kami? Adakah kebaikan pada diri kami -walaupun sedikit- di mata mereka? Apakah kebenaran hanya milik mereka? Apakah mereka merasa terbaik dan terpilih? Ada dendam apa leluhur mereka dengan leluhur kami?

“Bulik..!”

Saya biasa memanggilnya Bulik Jibah. Beliau adalah bulik saya (Ibu Cilik). Mungkin bagi kalian itu hanya sebutan dari keponakan kepada buliknya. Tapi bagi saya sebutan itu memang pantas saya sandingkan untuk beliau. Beliau adalah sandaran hidup saya, harapan saya untuk bisa terus hidup, pelipur lara. Saya dahulu adalah seorang anak yang banyak menghabiskan waktunya di rumah. Tentunya keluarga adalah teman satu-satunya yang saya miliki. Saya korbankan kebahagiaan masa kecil saya, mengharap ada kebahagiaan lain yang menanti sebagai ganti. Tempat favorit saya kala itu adalah rumah nenek saya. Di sana saya bisa bertemu dengan bude, pade, bulik dan um saya. Sebagai seorang bocah yang semenjak kecil memingit diri dalam rumah, tentunya saya tidak mengetahui sama sekali bagaimana orang lain menjalani kehidupan mereka. Saya hanya bisa merekam apa yang keluarga besar nenek saya lakukan. Waktu itu saya adalah cucu terbesar di keluarga itu. Layaknya anak kecil lain yang tidak terlepas dari berbuat salah, saya pun terkadang atau justru mungkin sering melakukan salah, terbukti saya masih ingat betul saya lebih sering menangis daripada tertawa kala itu. Sebagai anak kecil yang tidak mempunyai kakak, maka tempat pelarian jika saya sedang bersedih seharusnya pada seseorang yang lebih tua (dewasa) yang sanggup meneduhkan hati saya yang sedang gundah gulana. Ini sekaligus menjadi sebuah pesan untuk semua orang tua yang sedang membesarkan anaknya, bahwa ketika anak bersedih yang ia harapkan hanyalah kasih sayang agar kesalahan yang ia perbuat tidak terulang kembali, namun kebanyakan orang tua salah cara untuk menyampaikannya, mereka lebih suka meneriaki anaknya karena kesal dengan tangisannya.

Bulik, adalah kata yang paling sering saya sebutkan di masa kecil saya. Terdengar begitu indah di telinga ketika sang pemilik nama tiba di hadapan saya. Sungguh! Ketika hati meronta-ronta kesakitan berharap ada yang bisa memeluknya, beliau lah bidadari yang Allah utus untuk saya. Padahal kala itu saya hanyalah seorang anak kecil yang tidak punya daya apapun, dan mungkin saya kala itu tidak memberi keuntungan apapun pada bulik saya, tapi rasa cinta bulik saya terhadap saya itu yang sangat luar biasa yang tidak saya dapatkan dari orang lain selainnya. Mungkin secara lahir beliau hanya memberi sedikit, tapi ketahuilah bulik -jika engkau membaca ini- engkaulah yang menguatkan hati ini ketika rasa putus asa untuk melanjutkan hidup menghampiri. Sebenarnya tanpa engkau sebutkan lagi apa jasa-jasamu padaku kala itu, pastilah saya akan lebih banyak menghafalnya dari engkau. Bulik, jika engkau membaca tulisan saya ini, saya ingin engkau tahu bahwa saya sangat menyayangi bulik. Maaf jika selama saya menjalani hidup saya belum bisa membalas jasa-jasa bulik. Saya berdoa semoga kita dipertemukan kembali di surga-Nya.

Numpang Curhat – Cacatnya Pengarang Kitab (Kacamata Saya)

Jadi ada suatu statement yang menjelaskan suatu materi yang mana seharusnya pengarang menuliskan contohnya namun tidak, justru menambahkan footnote bahwa contohnya sudah disebutkan di bab ini -mudahnya-.
Dalam hati saya membatin “Yaelah buu bu, ya enak kalo babnya satu bab persis sebelum bab ini, nyatanya udah kelewat satu bab lain, dan dari masing-masing bab pembahasan dan contohnya gak cuma satu dua, tapi seabreg. Gimana saya carinya?”

Sisi lain, pengarang kitab menuntut kita agar kita detail dalam membaca dan masih bersambung memahami dari bab ke bab, karena mereka semua itu saling berkesinambungan.

Tapi yang bikin saya tergelitik adalah panjang footnote-nya gak lebih pendek dari contoh yang seharusnya dituliskan. Kenapa gak elu tulis aja contohnya, atau copast kek? hehe.

Maaf kalo bahasanya kurang santun (tanpa mengurangi rasa ta’dzim saya terhadap ulama dan pengarang kitab), biar enak dibaca dan cuma sekedar hiburan. Terima kasih, silakan melanjutkan aktifitasnya kembali.

Mohon jangan sampai kualat dan ilmunya gak manfaat.

Mencari Kebenaran adalah Pelajaran Hidup

Dikisahkan, suatu hari saya menyaksikan seorang teman sedang mengkritik secara terang-terangan terhadap teman lain yang gemar menonton anime. “Apa sih itu faedahnya menonton anime seperti itu? Tidak ada faedahnya sama sekali.” kira-kira seperti itu ia berkomentar. Karena saya sendiri tidak begitu maniak dengan anime, maka saya masih membiarkannya. Beberapa hari kemudian saya mendapati teman yang dulu pernah mengkritik itu kini duduk bersanding dengan teman yang gemar menonton anime yang kala itu sempat dikritiknya, sedang asyik bersama menonton anime. Saya terkekeh di dalam hati. Bahkan beberapa hari berikutnya saya masih mendapatinya tengah asyik menonton anime, bahkan sendirian tanpa ditemani oleh teman yang menggemari anime itu. Bahkan saya mendapat laporan hingga ke materi-materi yang ia sampaikan pada bimbel yang ia ampu pun, ia kerap membanding-bandingan materi-materinya dengan anime, bahkan hingga meledek anak-anak didiknya jika mereka tidak mengetahuinya.

Ok, tidak berhenti hanya sampai disini. Di lain kesempatan, saya menyaksikannya tengah mengkritik fakultas dimana saya belajar. Karena ini bukan anime, ini fakultas yang dimana saya tercatat nama saya di dalamnya, maka hati ini tidak tahu mengapa agak sedikit dongkol mendengarnya, walaupun saya sendiri tidak menyukai fakultas saya, minimalnya saya tidak pernah menjelek-jelekkan fakultas saya. “Apa sih yang dipelajari di fakultas ***? Hanya itu-itu saja. Lalu untuk apa?” kira-kira seperti itu. Beruntung, pada waktu itu ada senior fakultas saya yang tengah berada disitu. Aku perhatikan seniorku itupun kesulitan untuk menjelaskannya. Karena memang harus terjun ke dalamnya dahulu agar turut bisa merasakan apa yang dirasakan oleh orang yang lebih berpengalaman di dalamnya. Dalam hati saya membatin “Andai saja, ia berkesempatan untuk merasakan betapa maremnya berkecimpung di dunia yang seperti anime yang dulu pernah ia kritik.”. Karena saya ini anak yang lemah, yang tidak mempunyai kekuatan apa-apa dibanding mereka-mereka, senior-senior dan junior-junior saya (majas litotes), maka alangkah lebih tenangnya jika saya hanya memendamnya di dalam hati.

Maka jangan salahkan Tuhan jika Ia menganugerahkan saya keahlian dalam menulis dan merangkai kata untuk mengekspresikan kata hati saya. Banyak sekali pelajaran yang bisa dipetik dari tulisan-tulisan saya. Lebih banyak makna tersirat dalam bahasa tubuh saya dibanding makna tersurat. Lebih banyak kata-kata yang saya torehkan dalam tinta daripada kata-kata yang saya lontarkan melalui lidah. Lebih banyak gagasan-gagasan dalam otak saya yang berseliweran daripada gagasan-gagasan yang saya untai dalam bentuk paragraf. Yang masih saya cari tahu kebenarannya, yang tidak tahu sampai kapan akan saya kubur lalu saya taburkan pada dunia. Untuk menjadi seperti saya, maka langkah yang harus ditempuh adalah menggunakan seluruh indera yang sudah Allah swt berikan kepada kita termasuk indera perasa, bukan lidah, melainkan hati. Untuk lidah, persedikitkan penggunaannya. Mata untuk MELIHAT, telinga untuk MENDENGAR, lidah untuk BERKALAM dan hati untuk MERASA. Mari menyelam bersama saya, tapi saya yakin anda tidak akan menyukainya. Jangankan suka, berkendakpun segan. Karena anda sekalian akan dirundung kesedihan yang tiada berujung. Kritik saya secara bijak, maka akan saya pertimbangkan, jika tidak maka akan saya abaikan.

Muhammad Fadhlurrohman Suwondo Renggan Dirjo

Mereka Para Penghuni Langit yang Berada di Bumi

Hati adalah pusat pikiran. Begitu al-Quran menyebutkan. Semakin bersih hati, semakin jernih pula pikiran. Orang yang hidup dengan hati tidak layak untuk hidup di dunia. Mereka tidak seharusnya bertemankan manusia, melainkan malaikat. Mereka akan terlihat bodoh jika mereka berada di dunia. Karena mereka lebih memlih untuk mengalah daripada menyakiti hati orang lain. Namun terkadang orang yang sedang dijaga hatinya itu tidak menyadarinya justru membodoh-bodohinya. Tapi apakah mereka tahu bahwa mereka para pengendali hati sebenarnya bisa melawan namun lebih memilih untuk menahan? Tapi apakah mereka para penghuni bumi tahu, bahwa merekalah sebenarnya yang terlihat sangat bodoh di hadapan para penghuni langit? Sayangnya, mereka tidak mengetahuinya. Sehingga kebatilanlah, permusuhanlah, keegoisanlah, kesombonganlah yang mereka junjung tinggi-tinggi dan mereka unggul-unggulkan. Mereka membuat sesuatu yang berwarna putih menjadi kelabu, sehingga sukar untuk dimengerti. Memang benar manusia adalah makhluk paling hebat, tapi kosong. Setankah dia atau malaikatkah? Namun yang sering terjadi malaikat tak memliki kawan, sedangkan setan menariknya untuk menjadi bagiannya. Hingga akhirnya ajal menghampiri, baru akhirnya mereka menyadari.

Isi Hati Seorang Lelaki, Benar Tidak sih?

Kalian tahu mengapa anak orang kaya takut menyukai wanita yang glamor padahal luxurius itu indah? Karena yang kaya itu orang tuanya, anaknya belum terjamin akan sekaya orang tuanya.

Lelaki lebih memilih wanita yang nurut, dengan begitu ia akan membuat wanitanya terlihat menarik hanya untuk disantap oleh kedua matanya.

Untuk apa wanita itu kita nikahi jika indah menurut orang lain, namun tidak untuk kita, apalagi jika cantiknya bisa dinikmati oleh khalayak. Cemburu rasa ini.

Sebenarnya yang dicari seorang lelaki adalah kesetiaan wanitanya, tetapi lelaki juga kudu sadar diri jika ingin wanitanya setia maka harus ada upayanya.

Saling memahami dan mendukung sebenarnya itu kuncinya. Perlakukanlah wanita selayaknya, begitu pula sebaliknya.

Di akhir cerita lelaki baik akan bersanding dengan wanita baik, begitu pula sebaliknya.

Serindu-rindunya

keras kepala atau apapun itu namanya kau ingin menyebutku
peduli apa jika rindu ini …
terus menggerogoti otakku, terus menyita waktuku, terus meluber dr wadahnya, terus membangunkanku di tengah malam.. dan tak ada satupun yg sampai padamu..
peduli apa jika kehadiranmu yg menyakitkan lebih aku inginkan drpd ghaibmu.. peduli apa jika ku dengar suaramu dg orang lain lbh aku harapkan drpd tak ku dengar sm sekali kau sdg bersama orang lain atau apa..
aku rasa rindu itu selalu sampai, namun justru jd candu utkku menyampaikan, shnnga mungkin kau mual karena merasa bosan..
ssngguhnya ingin ku hentikan senandungku di bait kedua, namaun apadaya jemari ini kian menari tiap kali aku paksa berhenti, jemari ini bergerk tanpa ada komando dr hati, namun apa daya hati yg jua ingin mengizinkannya menari hanya aja ia takut, hati tak seberani jemari, sehingga mungkin akal sehat mulai terabaikan, aku kembali berkata lalu bru berfikir, yg kadang dan sering kali aku sesali.. rasa tak enak selalu menggelayuti hati tiap kali ingin meminta maaf drmu, namun utk apa diulangi jika aku akan mengulanginya lagi..
aku kehabisan kata, tdk.. aku tdk pernah kehabisan.. hanya saja menghentikannya akan menjadi lebih baik jika aku selalu turuti hawa nafsuku yg msh spt anak kecil yg selalu ingin digendong oleh ibunya..
hbs.. tdk.. msh.. sdh.. ckp.. dadah.. maaf.. see ya.. diam.. tak bisa.. harus.. ku coba.. mulai.. ya.. diam.. ya.. dia.. sdh.. aku berhasil.. ya..