Pejuang Perguruan Tinggi

FB_IMG_1456796725458

Perjuangan saya mengikuti tes SBMPTN ini tahun lalu, kembali melibatkan keringat dari orangtua saya. Baik itu Umi yang tak ada hentinya mendoakan untuk kebaikan putranya ini di rumah, di Tegal sana, hingga Abah yang turut serta mengantarkan putranya ini menuju ke luar kota, tempat lokasi tes tersebut, Semarang.

Setelah gagal lolos SNMPTN, SPAN-PTKIN dan sedang menanti harapan palsu dari FDI dan CSS MoRa, Saya tertuntut untuk tidak mengecewakan kembali harapan orangtua saya untuk tetap bersekolah. Saya kabari orangtua bahwasannya ada tes semacam ini untuk bisa tembus ke salah satu PTN di Indonesia. Orangtua menyanggupi bahkan mereka lebih antusias menanggapinya, mengingat Saya sudah berulang kali gagal.

Memang sewaktu Saya mengetahui pengumuman SBMPTN bisa dikatakan cukup terlambat, Saya harus mendaftar waktu itu juga karena waktu itu Hari Jum’at dan pendaftaran akan ditutup pada Hari Senin, lalu untuk pembayaran harus disertakan ID yang hanya bisa didapat setelah mendaftar. Tidak ada kata “besok” karena besok adalah Hari Sabtu dan lusa adalah Hari Minggu, singkatnya BANK tutup, sedangkan deadline jatuh pada Hari Senin. Sehingga pada saat itu, modem yang sebelumnya tidak terisi paket data, langsung Saya isi hanya untuk mendaftar dan mendapatkan ID. Untuk melaksanakan pendaftaranpun tidak semudah yang mungkin dibayangkan, dengan tergesa-gesa Saya mencari tempat penjualan paket data, setelah itu berhadapan sedikit masalah dengan jaringan, belum lagi berunding di fakultas apa yang akan Saya pilih, apalagi ini tes untuk jurusan umum, sangat jauh sekali dari asal jurusan yang Saya ambil sewaktu di MA dulu. Umi saya menginginkan agar tidak berada jauh dari kediaman alias satu provinsi. Suasana pada waktu itu seperti sedang mencari bom yang tidak lama lagi akan meledak. Tidak lama kemudian pendaftaran berhasil, kini tinggal print out kartu tanda bukti pendaftaran untuk ditunjukkan ketika membayar. Bisa terbayang kan bagaimana menderitanya Saya? Namun Saya tahu orangtua saya lebih merasakannya. Ini demi keinginan besar orangtua, terlihat dari sikap mereka mendukung saya sepenuh hati untuk mengikuti kesempatan satu ini. Saya segera mencari tempat biasa keluarga saya print out softfile karena printer milik keluarga kami rusak dan sudah lama tidak terpakai, terlepas dari ada kendala atau tidak, Saya lupa.

Singkat cerita, di tangan saya sudah ada kartu tadi yang sudah Saya sebutkan. Dengan masih berseragam dinas, Abah saya rela mengantarkan, menghabiskan waktu istirahatnya pada siang hari itu untuk mengantarkan saya menuju BANK untuk melakukan transaksi ini. Dan ternyata BANK itu sudah tidak menerima lagi transaksi apapun karena sudah lewat batas jam kerja, waktu itu Saya lupa pukul berapa tepatnya, dua atau tiga sore hari. Namun hebatnya Abah saya, Beliau tetap menerobos satpamnya walaupun satpamnya tidak main kasar kemudian mendatangi petugas khusus untuk transaksi itu. Selepas itu Abah saya hanya diingatkan agar tidak berhajat apapun ketika sudah lewat jam kerja oleh petugas itu dengan ramah, Abah saya hanya tersenyum.

Perjuangan ini tidak sesantai itu. Bahkan lebih lelah daripada menuliskan cerita ini hanya untuk mengenang jasa orangtua saya. Sehari sebelum Hari H, waktu istirahat Abah saya beliau gunakan untuk mengantarkan saya menuju ke lokasi. Hanya dengan mengandalkan kenalan Umi saya, Saya akan dititipkan kepadanya. Sesampainya Saya dan Abah saya di Semarang, Kami mengisi perut di warung terdekat stasiun dan menghubungi pihak yang akan saya dititipkan padanya. Beliau merupakan mahasiswa senior di salah satu universitas yang ada di Semarang. Waktu itu beliau sedang sibuk, jadi rekannya lah yang menjemput saya di warung Kami makan. Rekannya pun ikut makan bersama kami, setelah itu barulah Saya ditinggal Abah saya, karena Abah saya harus sudah sampai ke kantor lagi sebelum maghrib tiba. Abah saya memesan tiket waktu itu juga dan pamit pergi.

Saya bersama rekan kenalan Umi saya dibawanya ke kosannya, disana saya tidak mengenal seorangpun hingga akhirnya saya bertemu seorang teman dari Tegal yang juga akan mengikuti tes ini namun beda lokasi, Saya di UNDIP dan dia di UNNES, dan yang ternyata kenalan Umi saya adalah kakak kandung dia. Selama saya masih di kosan itu, dialah yang menemani saya mulai dari makan sampai sholat berjamaah di masjid terdekat. Saya berhutang jasa terhadap mereka. Ada lagi satu teman juga namun tidak begitu akrab. Malam harinya Saya dipindahkan ke kos rekannya oleh rekannya pula karena beliau memang sangat sibuk. Dengan berpura-pura menjadi saudara B saya diserahkan ke C, padahal Saya juga sedang berpura-pura menjadi saudara A tanpa sepengetahuan B. Dan kebetulan sekali mereka A, B dan C ini semuanya berasal dari Tegal. Malam itu pun Saya berpisah dengan teman saya dan pindah ke kos C yang lebih dekat dengan lokasi karena jalanan akan macet jika ditempuh dari kos sebelumnya. Sampailah saya di kos C yang kebetulan dia bertugas sebagai petugas masjid dan Saya menginap di kamar yang ada di masjid itu bersama beliau. Malam itu Saya tidak bisa tidur walaupun akhirnya tertidur juga, namun waktu terjaga itu tidak Saya gunakan untuk mempersiapkan tes besok karena memang pikiran sudah kemana-mana. Satu hal yang Saya pikirkan waktu itu adalah ternyata masih ada orang baik di dunia ini dengan saya.

Esok harinya Saya diantar ke tempat lokasi, namun sebelumnya Saya diajak sarapan dahulu sebelum akhirnya Saya kembali sendirian di sekitar orang-orang asing. Disana Saya berkenalan dengan dua orang teman yang di akhir cerita berpesan agar tidak akan pernah melupakan mereka. Ini masih terngiang. Tes pun Saya jalani bersama mereka, seperti biasa sholat berjamaah di masjid dan makan siang bersama di warung terdekat, terlambat masuk untuk sesi berikutnya pun kami bersama rasakan.

Beruntung tes ini hanya sehari, sorenya saya berpisah dengan kedua teman saya itu dan dijemput oleh si C tadi. Sebelum dijemput, harus berapa lama Saya menunggu dari detik setelah Saya menelefonnya. Dengan rasa gelisah yang berkecamuk di dada saya, melihat peserta lain sudah meninggalkan lokasi, tinggal beberapa saja termasuk saya yang malang menunggu jemputan, apalagi Saya sudah dijadwalkan setelah ashar harus sudah sampai di stasiun untuk pulang. Akhirnya jemputan sampai juga, Saya diboyongnya menggunakan motor lama miliknya menerobos kemacetan di jalan menuju gerbang keluar kampus yang sangat luas tersebut. Sesampainya di luar gerbang Saya berpamitan dan berterimakasih. Saya akhirnya dapatkan bus yang sudah saya agak lama menunggunya dan segera menuju ke stasiun. Di dalam bus Saya bertanya kepada salah satu penduduk asli dimana Saya harus turun dan akhirnya Saya pun turun di tempat pemberhentian yang lumayan jauh dari stasiunnya. Saya segera turun dan berlari mengejar jam kereta lepas landas, di pertengahan jalan di belakang saya seorang tukang becak tergopoh-gopoh mengayuh becaknya mengejar saya, katanya diberitahu seseorang bahwa Saya ini orang jauh yang sedang terburu-buru menuju ke stasiun. Beliaupun menawari saya dengan minta dibayar cuma-cuma. Singkat cerita Saya tiba di stasiun dan menemukan kereta yang akan Saya tumpangi.

Demikian cerita ini Saya buat tanpa rekayasa apapun. Satu pelajaran dari kisah ini bahwasannya di dunia ini itu penuh dengan orang-orang baik, dan jika kita tidak bisa menemukannya maka kitalah yang harus jadi seseorang itu. Semangat kawan! Terus kejar cita-cita kalian!

Antara Bakat dan Hasrat

FB_IMG_1456798153007

Saya itu dulu suka sekali dengan yang namanya bermain musik.
Di Madrasah Ibtidaiyyah atau yang biasa kita sebut MI, saya ikut grup Marching Band milik sekolah.
Awalnya saya tidak mendapat bagian memegang salah satu alat musik pada waktu itu. Tapi saya selalu berangkat untuk berlatih walaupun setelah itu saya harus kembali mengayuh sepeda untuk mengikuti les Bahasa Inggris dan Matematika.

Alasan mengapa saya sempat tidak mendapat bagian itu dikarenakan pelatihan yang sekolah selenggarakan itu hanya bonus dari pembelian alat-alat musik di CV tersebut. Jadi hanya sekedar beberapa orang untuk dilatih.

Tetapi beruntungnya saya karena saya kebetulan putra dari Kepala Madrasah, ketika itu Ayah saya atau yang biasa saya sebut Abah sedang menyempatkan waktunya untuk melihat perkembangan sekolah dan mendapati saya yang setiap sore hari berkeringat namun ternyata hanya sekedar peluh yang bercucuran. seketika itu Abah saya menghampiri sang pelatih dan memperkenalkan anak sulungnya yaitu saya. wajah sang pelatih terlihat kikuk dan langsung mengambil snare drum yang tergantung pada bahu siswa lain dan meletakkannya di bahu saya. saya pun berlatih. yang waktu itu saya rasakan adalah rasa senang bukan karena Abah saya dan berhasil mendapar bagian seperti yang lain, akan tetapi saya sangat merasa senang karena memang bermain musik adalah keinginan terbesar saya yang muncul secara tiba-tiba dan murni dari hati saya. Akhirnya snare drum lah yang pertama kali saya bawakan sebelum setelahnya saya menjajal alat musik lain.

Masa tenggang bonus pelatihan pun berakhir, pelatih sekarang sudah digantikan oleh guru asli madrasah yaitu Ust. Syamsuddin. Dan yang lebih menyenangkan lagi teman-teman yang lain bisa ikut andil dalam kesempatan ini karena tidak terbatas oleh masa bonus pelatihan apapun, karena memang ini adalah program sekolah yang bersifat flexible.

Di lain kesempatan saya pun pernah mencoba cymbals, namun saya tidak bertahan lama karena bermain cymbals itu tidak ada asyiknya dan membosankan. Saya pun meminta pada sang pelatih agar memindahkan saya kembali pada snare drum.

Begitu terus berjalan hingga ketika saya menonton latihan drum band tetangga sekolah, saya mendapati satu anak laki-laki memegang kendali pianika, seketika itu saya merasa tertarik dan rasa ingin mencoba hal baru mendadak meningkat, tak sabar untuk segera berganti hari dan memulai latihan.
Saya iri padanya yang berkuasa penuh memainkan pianika sesuka hati. Walapun pada waktu itu memainkan pianika, marching bell merupakan sebuah pandangan miring untuk laki-laki. Itu yang menjadi pertanyaan besar saya yang belum terjawab hingga saat ini. Padahal tidak ada hukum internasional yang menetapkan itu menjadi peraturan bersama. Pemain Drum Band tingkat Nasional pun bebas berkreasi. Sudah, lupakan!

Permintaan saya pun akhirnya dipenuhi oleh sang pelatih namun bukan pianika yang saya pegang melainkan marching bell. Kalian tahu alasannya? karena berbeda dengan tetangga sekolah yang sudah saya sebutkan, di sekolah kami pianika adalah bukan milik pribadi masing-masing, melainkan milik sekolah. jadi tidak mungkin jika bergantian bibir memainkannya dengan para siswi.

Akhirnya saya pun berlatih memainkan marching bell. Di kelas hanya saya siswa laki-laki seorang diri. Namun itu tidak menjadi halangan bagiku untuk terus maju. Satu kata yang tidak bisa hilang dari ingatanku pada waktu itu yaitu Ust. Syamsuddin sang pelatih mengatakan bahwasannya saya justru lebih unggul dari para siswi.

Berlatih marching bell tidak membuat saya berpaling dari snare drum, saya pun masih berlatih memainkannya.

Hal menyenangkan berada di posisiku sekarang ini adalah bisa merasakan berbagai alat musik.
Apalagi ketika disewa untuk arak-arakkan mengelilingi desa. Tidak sedikit yang merasakan capek, membopong beban berat alat musik dan melangkahkan kaki, sehingga pada saat itulah saya yang berperan menjadi pahlawan, haha.. bukan bermaksud sombong tapi hanya sekedar menjalankan hobi saja.

Jadi ketika pemain bellyra kelelahan misalnya, maka saya lah yang akan menggantikannya dengan syarat ada yang menggantikan saya bermain snare drum, begitu seterusnya.

Itu semua tidak berasaskan karena saya mempunyai Abah yang berkedudukan ganda menjadi Kepala Madrasah, tapi memang karena kemampuan dan keinginan saya yang berhasil membuktikan bahwa saya pun bisa.

Tidak semua yang saya rasakan pada waktu itu adalah kesenangan saja. Saya pun turut merasakan sakit hati ketika dipermalukan beberapa teman karena memainkan alat musik perempuan. Hal itu yang membuat saya merasa sangat terpukul, ketika seakan berada di atas awan menjalani hobi namun tiba-tiba cuaca memburuk, petir menyambar. Sakit, rasa sakit bukan main. Tapi tetap saya jalani, karena tidak semua teman begitu. Ada sahabat-sahabat saya yang mendukung saya untuk terus berkarya. Kalimat yang masih saya ingat lagi yang salah satu dari mereka katakan bahwa tidak heran jika Fadhlu cepat menghafal nomor telefon karena sering menghafal notes piano.

Puncak kebahagiaan saya adalah ketika saya dikhitan dan sebelumnya diarak-arak mengelilingi desa diiringi alunan drum band sekolah saya yang pada waktu itu masih dipegang oleh angkatan saya.
Bersama mereka dan berfoto bersama. Bahagia!
Uang dari kondangan saya belikan untuk satu unit komputer dan sebuah pianika. Namun tidak lama saya bermesra-mesraan dengannya, Saya sudah di kelas akhir dan mulai fokus dengan UAMBN.

Lulus dari SD membuat saya berhenti bermain alat musik, terlebih setelah itu saya di sekolahkan di Pondok Pesantren. Drum band hanya ada di lembaga pendidikan SMA, dan saya masih MTs. Untungnya MTs yang saya sekolah di dalamnya, hehe.. mempunyai grup alat musik calung. Saya berharap ketika kelas delapan nanti berkesempatan menjadi OSIS dan memainkan angklungnya. Dan saya bersyukur sempat memainkannya ketika debut di acara MTs yang bertempat di GOR, sebelum akhirnya saya digantikan oleh teman saya karena saya sering enggan berlatih karena kelelahan sepulang dari sekolah di kelas unggulan, cihuyy..

Lulus dari MTs, saya bersekolah di MAK. Saya masih tidak bisa merasakan bermain alat musik lagi. Sampai ketika ada murid dari kelas siswi yang membawa masuk pianika dan memainkannya di sekolah, membuat saya merasa envy.

Sampai sekarang lah saya hanya bisa memainkan semua alat musik yang pernah saya mainkan hanya di dalam mimpi dan angan-angan.

Dari Kucing Menjadi Macan

FB_IMG_1451543723964

Sewaktu masih sekolah di MTs Al Hikmah 2 Benda, saya itu orangnya pemalu, ingin meraih mikrofon yang moderator pegang kemudian menjawab pertanyaan yang diajukan pada acara Khataman Aqidatul Awwam & Tuhfatul Athfal-pun saya tidak berani sama sekali, padahal pada waktu itu saya ingin sekali maju ke depan menunjukkan pada Ayahanda bahwa anak pertamamu ini sebenarnya bisa.

Namun entah mengapa di lain kesempatan di tempat yang sama, merupakan suatu hentakan ketika ditawari untuk menjadi moderator acara Aqidatul Awwam & Tuhfatul Athfal. Waktu itu saya masih kelas dua MAK Al Hikmah 2 Benda, hanya berbekal apa yang saya dapat selama menjadi penyiar radio Tsania FM 101.8 MHz yang walaupun sering didengar suaranya oleh para pendengar namun tidak menampakkan wujud aslinya, untuk pertama kalinya saya memberanikan diri untuk menerima tawaran tersebut dan berdiri di atas panggung yang pernah saya dambakan, di tengah eluan, tepuk tangan dan juga semangat.

Entah mengapa dan untuk alasan apa saya menerimanya, hingga beberapa menit sebelum saya ON AIR, saya baru sampai di tempat lokasi, GOR Serbaguna Al Hikmah 2 dan mendapati Mas Faiz, produser sekaligus trainer saya di stasiun radio Tsania FM, rasa ini semakin beraduk-aduk antara rasa mulas dan mual karena grogi.

Akhirnya tanpa menjinjing ilmu kemoderatoran saya lalui begitu saja, lampu sorot yang ternyata begitu terang seperti ini bagai malam panjang menjadi fajar mentari pagi. Saya fikir itu semua sudah sempurna untuk ukuran saya yang masih pemula begitu juga yang dikatakan oleh teman-teman saya, termasuk partner saya, Muzaki pada waktu itu.

Pada tahun berikutnya, mendekati hari acara tersebut, saya bertanya-tanya, apakah saya masih dipercayai untuk membawakannya? Hingga beberapa jam sebelum sesi tanya jawab, karena memang moderator hanya meng-handle sesi tersebut, saya baru dikabari oleh Mas Rifqi pada waktu itu untuk kembali tampil, padahal sebelumnya saya sudah pesimis dengan beribu-ribu pertanyaan, apakah dulu saya buruk? atau bagaimana?

Partner saya yang pertama, Muzaki enggan saya ajak kembali. Saya semakin khawatir, saya tidak ingin acara ini gagal hanya karena saya. Saya berfikir sampai akhirnya saya menemukan ide untuk mengkader junior saya, karena waktu itu saya sudah kelas tiga akhir MAK Al Hikmah 2 Benda, dan saya tahu tahun berikutnya bukan saya lagi yang akan membawakannya. Maka saya putuskan untuk memilih Alawiy junior saya, dua tahun dibawah. Saya yakin saya akan cocok bersamanya karena ber-partner itu dibutuhkan adanya chemistry tersendiri. Acara itupun saya bawakan lagi dan Alhamdulillah, segala puji bagi Allah, acara tersebut sukses terselenggara padahal saya sebelumnya merasa ini sebuah kegagalan, ini sebuah kegagalan!

Di akhir kalinya saya berdiri di panggung tersebut, saya dikabari oleh junior saya, yang juga teman Alawiy yaitu Rezy bahwa penampilan saya tadi malam dikritisi oleh pengasuh Pon. Pes. Al Hikmah 2 Benda, Abah Sholahuddin Masruri. Seketika itu saya shock, saya kira sebuah kritikan buruk untuk saya, ternyata sebuah pujian karena kostum yang saya dan Alawiy kenakan yaitu peci, kemeja dengan dasi dan sarung. Sungguh kostum yang sangat aneh namun menjadi keindahan tersendiri untuk kalangan santri. Saya bernafas lega.

Rezy jugalah yang menjadi penyemangat saya untuk melanjutkan perjuangan saya menjadi seorang host. Saya masih ingat kalimat yang ia lontarkan pada saya bahwa saya ini hebat karena tidak semua orang bisa melakukan apa yang saya lakukan. Terimakasih Rezy.

Kegagalan? Saya-pun pernah mengalaminya. Waktu itu malam takbiran Idul Adha, kejadian ini terjadi di pertengahan antara debut dan penampilan akhir saya di dunia ke-MC-an sehingga menjadi ganjalan dan pertimbangan untuk melanjutkan perjuangan pada penampilan akhir saya yang sudah saya jelaskan panjang lebar sebelumnya. Kembali lagi, waktu itu saya dan Ogi diamanati menjadi MC non-formal acara takbiran yang diadakan oleh pengurus pondok. Saya kikuk membawakannya karena ternyata berbeda dengan acara sebelumnya. Letak kesalahan saya yaitu dalam perhitungan waktu untuk tampil bagi tiap-tiap delegasi dari masing-masing sekolah. Entah mengapa kesalahan ini terjadi pada saat SMA Al Hikmah Benda tampil, bukan karena disengajakan karena SMA itu rival MA, tapi karena kesalahan, kesalahan is kesalahan, dan itu kesalahan saya yang teledor menghitung menit mereka tampil. Seharusnya saya tidak memberhentikan prosesi penampilan mereka hanya karena waktu yang ditentukan sudah habis, namun saya melakukannya dan membuat mereka malu. Di pertengahan acara tersebut saya meminta break untuk meminta maaf pada yang bersangkutan dari pihak SMA ditemani oleh ketua panitia, Falah. Acara itu dibawakan sampai akhir oleh Ogi. Seusai meminta maaf, walaupun sudah dimaafkan saya masih terbayang-bayang ekspresi wajah kecewa mereka dan saya memutuskan untuk berhenti sebelum acara usai. Terimakasih saya ucapkan pada Zainal, adik saya yang pada waktu itu telah menghibur saya. Sebelum itupun kesalahan sudah saya lakukan dengan menginstruksikan penonton bisa beristirahat dengan berjajan lalu kembali lagi, namun justru tempat menjadi semakin sepi.

Demikian cerita pengalaman saya menjadi pembawa acara, dibuat dengan sedemikian adanya, tanpa ada unsur dibuat-buat, 100% asli.
Terimakasih. 🙂