Sense of Belonging

Pernah mendengar jika kita tidak dianggap di suatu tempat maka berpindahlah? Pernah juga mendengar kecerdasan itu tidak bisa diukur dengan satu nilai, jika iya maka ikan akan selamanya dianggap bodoh ketika diminta untuk memanjat pohon? Memang sesuatu yang pas bukan berarti disitulah tempatnya. Seperti satu iris jeruk jika digabungkan dengan irisan-irisan bawang putih maka akan menjadi satu padu, tapi apakah bersama bawang putih tersebut jeruk akan menjadi jeruk?

Saya ingin menceritakan hal kecil yang jarang sekali kita perhatikan dan sadari. Jika kita sering mendapati warga Mesir yang jahat terhadap kita, maka tidak elok jika kita memukul rata semuanya. Masih banyak dan bahkan lebih banyak jumlahnya mereka yang sering pergi ke masjid, mereka jadikan pinggir-pinggir jalan sebagai masjid. Masih banyak Musa dibanding Firaun, insya Allah.

Saya akan memulai dan mengambil tema tulisan saya kali ini dari pakaian yang biasa saya kenakan. Disini saya sering mengenakan sarung kemudian koko putih bertuliskan الحكمة di bagian punggung kanan atas (almamater), kemudian songkok ukuran tinggi 12 cm.

Pertama sarung, mungkin disini amat jarang bahkan tidak ada warga Mesir yang mengenakan sarung. Disamping bentuknya yang menyerupai rok wanita, dikabarkan juga pakaian satu ini dikhususkan bagi bapak-bapak yang ingin jimak. Alamak, malu benar jika memang begitu. Saya terkadang bahkan sering nekad mengenakannya di jalanan, beresiko ditertawakan memang apalagi banyak orang jahil disini. Sebenarnya niat saya hanya ingin melestarikan pakaian adat santri di negara saya.

Kedua koko bertuliskan الحكمة, alhamdulillah kali ini tidak begitu nahas jika dibanding sarung sebelumnya. Pada bagian ini warga Mesir justru sangat menyukai pakaian ini. Disamping warnanya yang putih, menunjukkan kesucian, di bagian punggung kanan atas juga tertera tulisan الحكمة, kita warga Indo apalagi yang tidak mengetahui maknanya pasti akan merasa biasa saja, padahal filosofi makna الحكمة itu bagi penutur asli Arab itu sangat mendalam.

Ketiga peci, karena peci dengan ukuran tinggi disini diidentikan dengan sufi, maka jangan heran jika kita mengenakannya lalu banyak orang yang terpikat.

“Aji ning rogo soko busono lan aji ning ati soko lathi” yang kurang lebih artinya “Kekuatan kebaikan raga berasal dari cara berbusana dan kekuatan kebaikan hati berasal dari ucapan”.

Lebarannya Warga Mesir

Mungkin sekilas, kita sebagai warga Masisir (warga Indo yang ngaku-ngaku Mesir), tidak menyadari adanya kemeriahan warga Mesir dalam merayakan lebaran. Mindset kita sudah terpaku dengan pikiran negatif kita terhadap warga Mesir. Dimulai sejak setelah sholat ied, kita tidak mendapati warga Mesir saling bersalam-salaman. Kita hanya mendapati jalanan sepi. Tapi apakah kita menyadari bahwa sepinya jalanan itu yang menunjukkan mereka tengah merayakan lebaran yang kita tidak tahu bagaimana caranya. Kemudian beralih ke uang kembalian yang biasa saya dapat dari warung, berupa uang kertas baru layaknya warga Indo dalam tradisi pecingan. Saya sendiri malu membeli makanan dengan uang lecek sedangkan uang kembaliannya mlimping. Kemudian -jika kita mau memperhatikan- terutama anak-anak kecil Mesir, mereka mengenakan pakaian baru terlihat seperti sengaja dibeli untuk hari lebaran. Dan jika kita masih mendapati orang Mesir berjualan di hari raya, lalu apa salahnya? Terkadang kita saling membenci karena pikiran negatif kita.

Jaga Baik Kertas Putih Itu, Jangan Sampai Ada Noda

Berasa gak sih? Setan mulai membisiki kita, di saat kita sudah bersalam-salaman dan meminta maaf dengan teman-teman. Kita di hari yang fitri ini kembali menjadi fitri seperti bayi yang baru dilahirkan karena kita sudah berjuang mensucikan diri di Bulan Ramadhan. Kemudian ada hasrat untuk melakukan hal kejelekan, seperti menyakiti hati teman. Coba perhatikan mulai dari semenjak kita bersalaman, kita bagaikan kertas putih yang kosong, kita perhatikan kertas putih itu dan lihat tetes demi tetes noda hitam melumurinya, akan terasa sekali. Berbeda sekali ketika sebelum kita bersalam-salaman, dosa kita seakan menumpuk, jadi ketika kita melakukan dosa yang lain pun kita tidak akan sadar, ibarat buku tulis lama yang sudah kadung bercoretkan tulisan tangan yang jelek, pasti si pemilik ogah untuk memperhatikan kebagusannya. Sekarang tahun ajaran baru, buku tulis kita baru, tulis dengan rapi cerita Anda beserta keluarga dan teman-teman Anda sekalian. Semoga buku tulis baru kita ini terjaga rapi dan bersih sampai khatam dan berganti buku tulis baru lagi. Tidak ada yang tahu kita akan meninggalkan buku tulis ini di halaman depan, tengah atau akhir. Teruslah berbuat baik. Ushikum wa iyyaya bi taqwallah. Astaghfirullah min qoulin bila ‘amalin.

Bukan Surat Cinta Lagi, Cinta Anak Lanang untuk Umi dari Benua yang Berbeda

Umi, umi yang sekarang bukan yang dulu lagi.
Umi yang dulu saya lihat di foto pernikahan terlihat begitu cantik dan langsing, sekarang tidak, itu semua karena demi melahirkan Fadhlu kemudian adik-adik Fadhlu.

Umi, umi yang sekarang bukan yang dulu lagi. Umi layaknya seorang wanita yang ingin berdandan dan terlihat cantik, namun umi lebih memilih agar putra-putrinya tumbuh dengan akhlak karimah.

Umi, umi yang dulu sangat segar bugar, sekarang kebebasannya kita rampas dengan selalu mengeluhkan masalah-masalah kita pada umi. Umi yang hanya seorang wanita mampu menanggung beban pikiran anak-anaknya.

Umi, Fadhlu sayang umi. Maaf Fadhlu masih cengeng, Fadhlu masih suka nangis kalau ingat umi. Umi semoga Allah swt selalu menyayangimu seperti Umi dan Abah menyayangi Fadhlu dan adik-adik Fadhlu di waktu kecil, dan semoga Allah swt mengampuni dosa kita dan menempatkan di tempat yang istimewa.

Terima kasih umi, dari jauh Fadhlu ucapkan. Mohon maaf kalau Fadhlu belum bisa jadi anak yang baik, belum bisa jadi kakak yang baik buat adik-adik Fadhlu. Umi, semoga lebaran tahun depan kita berjumpa lagi.

Kemana Lailatul Qadar-mu Itu?

Aku sih mikirnya orang yang semangat ibadah di sepuluh malam-malam ganjil Ramadhan agar bisa mendapatkan lailatul qodar. Pada waktu itu merasa diri menjadi terpilih, merasa dirinya lah sehebat-hebatnya orang yang bertaqwa. Tapi jika setelah Ramadhan usai, ia masih tak bertaqwa. Lalu ia kemanakan lailatul qodar yang katanya telah ia dapatkan pada waktu itu?

-ūshīkum wa iyyāya bitaqwallāh-

*pgn posting keadaan sahabat Rasul sebelum dan sesudah Ramadhan, sepertinya saya sudah pernah mempostingnya tahun lalu.

Para Pejuang Agama Allah yang Tak Terlihat

Kisah 1

Masjid Azhar tengah direnovasi. Sebagian telah selesai dan sebagian belum. Tempat sholat wanita itu termasuk yang belum. Sementara mereka sholat di bagian luar yang tanpa atap.

Dzuhur hari, panas yang sangat terik. Terlihat wanita tua seorang diri sholat sunnah qobliyah. Oh betapa cintanya beliau terhadap Tuhannya.

Kisah 2

Perawakannya kurus, kakinya pincang, jalannya tergopoh-gopoh, untuk bisa berdiri lama pun sangat butuh pengorbanan. Pernah sesekali saya berada di sampingnya. Tubuhnya hampir roboh. Saya tarik. Selalu memakai peci merah dan *jubah*nya itu. *jubah bagi warga Mesir itu sudah menjadi pakaian adat*. Selalu meminum air dari botol kusam yang selalu ia bawa. Niat hati ingin membelikan yang baru namun sampai sekarang tak sempat. Dalam hati bertanya dimana beliau tinggal? Bersama siapa? Bagaimana ia menjalani hidup? Pernah saya temui beliau sedang berjalan menuju masjid, nampaknya masjid adalah tempat favoritnya. Aduhai, saya sangat teramat iri terhadapnya. Mungkin beliau tidak punyai kesempatan untuk riya di depan manusia, jangankan untuk riya, untuk dilihat orang pun mungkin beliau hanya berharap sedikit. Beliau berharap penuh kepada Tuhannya. Bagaimana saya? Untuk menghindari keramaian pun saya tak sanggup.

Perubahan itu Pasti

Perubahan itu pasti. Segala sesuatu di dunia ini pasti berubah kecuali perubahan itu sendiri. Hanya perubahan yang tidak akan berubah, ia akan selalu ada karena ia adalah sifat tetap milik makhluk selama mereka masih hidup di dunia ini. Makhluk itu berubah, yang tetap itu Allah swt. Manusia atau sebuah lembaga untuk bisa berkembanh dan survive di muka bumi ini maka dibutuhkan adanya perubahan.

Saya menuliskan ini karena hati saya merasa tersentil ketika mendengar bahwasannya Al Azhar tempat saya menimba ilmu diremehkan dengan beralasan Al Azhar tempo ini sudah tidak sama lagi dengan tempo dulu. Mereka mengambil contoh seperti pengambilan hukum pada empat madzhab fiqih yang telah disepakati oleh ahlussunnah. Al Azhar tempo dulu hanya berlandaskan pada empat itu saja, tidak seperti Al Azhar sekarang yang bermadzhab delapan alias jika empat madzhab tersebut dirasa tidak cukup maka boleh mengambil hukum dari empat madzhab lain tentunya yang sudah ditentukan.

Mari kita qiyaskan dengan apa yang ada di sekitar kita.

MAK Al Hikmah 2 Benda, apakah MAK sekarang masih sama dengan MAK tempo dulu? Saya yakin tidak. Apalagi saya sendiri melihat perkembangan MAK dari tahun ke tahun selama tujuh tahun. Tapi apakah citra ke-MAK-annya itu hilang? Tidak, sama sekali tidak.

Pon. Pes. Al Hikmah 2 Benda, apakah masih sama dengan Al Hikmah 2 tujuh tahun lalu? Saya rasa tidak. Atmosfir mungkin sudah berbeda tapi selama kita masih menghirup oksigen di dalamnya lalu apa salahnya?

Sekarang jika Al Azhar masih sama dengan Al Azhar sebelum-sebelumnya, apakah Al Azhar masih bisa survive, masih bisa menaungi umat islam yang ada di dunia ini seiring berkembangnya zaman? Coba difikir ulang.

Al Azhar mengambil empat madzhab lain itu bukan berarti Al Azhar keluar dari para ulama madzhab / mujtahid yang kepintaran jauh luar biasa dibandingkan ulama zaman sekarang, tidak! Al Azhar hanya menemukan persoalan di era modern ini yang mana jika hanya masih bermadzab empat itu saja maka akan ditemukan kesukaran untuk memecahkannya. Bukan berarti Al Azhar menggampangkan dalam berfatwa atau dalam pengambilan dalil. Al Azhar pun tidak ingin jika harus keluar dari empat madzhab yang muttafaq ‘alaihi, tapi jika memang urgent dan diperlukan, apakah harus memaksa? Justru jika memaksa maka akan salah dalam berfatwa atau pengambilan hukum itu.

Pihak yang mengatakan seperti itu pada Al Azhar merupakan lembaga yang sangat berpegang teguh dengan satu madzhab tapi tidak menutup kemungkinan untuk mengambil dalil dari tiga madzhab lain. Saya sendiri pun tidak menyalahkannya, justru membenarkannya, Al Azhar pun mengambil langkah yang sama, hanya saja Al Azhar lebih sedikit melebarkan sayapnya karena memang urgent dan itu yang mereka tidak bisa terima. Mungkin karena permasalahan agama yang mereka hadapi baru lah sedikit atau mereka belum baca banyak buku, saya pun tak tahu.

Tapi jika Al Azhar mengutus utusan dan pihak lain pun melakukan hal yang sama pada suatu umat non-muslim untuk berdakwah, saya yakin Al Azhar akan menang banyak. Tapi bisa jadi tidak, karena mungkin manhaj Al Azharnya sudah benar namun akhlak dari da’i tersebut tidak seperti yang islam ajarkan. Karena Rasulullah saw diutus oleh Allah untuk menyempurnakan akhlak dan barangsiapa yang mengunggulimu dalam hal akhlak, ia mengunggulimu dalam hal agama.

Saya tegaskan sekali lagi, saya tidak fanatik, saya pun membenarkan apa yang mereka jalani kecuali yang menurut saya salah. Saya hanya membela tempat dimana saya dibesarkan karena menurut saya perlu dibela, jika Al Azhar salah pun maka saya akan lepas tangan karena bukan level saya untuk men-judge lembaga sebesar Al Azhar. Saya pun diatas tidak sedang menyalahkan lembaga yang bersangkutan, saya hanya tidak sependapat dengan salah seorang peserta didiknya yang mengutarakan pendapat itu.

Sekian, mohon maaf jika ada salah, mohon pembenarannya, karena kebenaran hanya milik Allah swt semata, kita hanya dipersilahkan dan dipermainkan untuk memainkan peran kita dan menjalani skenario yang telah Ia tetapkan. Akhir kalam, wassalamu’alaikum.

“Bulik..!”

Saya biasa memanggilnya Bulik Jibah. Beliau adalah bulik saya (Ibu Cilik). Mungkin bagi kalian itu hanya sebutan dari keponakan kepada buliknya. Tapi bagi saya sebutan itu memang pantas saya sandingkan untuk beliau. Beliau adalah sandaran hidup saya, harapan saya untuk bisa terus hidup, pelipur lara. Saya dahulu adalah seorang anak yang banyak menghabiskan waktunya di rumah. Tentunya keluarga adalah teman satu-satunya yang saya miliki. Saya korbankan kebahagiaan masa kecil saya, mengharap ada kebahagiaan lain yang menanti sebagai ganti. Tempat favorit saya kala itu adalah rumah nenek saya. Di sana saya bisa bertemu dengan bude, pade, bulik dan um saya. Sebagai seorang bocah yang semenjak kecil memingit diri dalam rumah, tentunya saya tidak mengetahui sama sekali bagaimana orang lain menjalani kehidupan mereka. Saya hanya bisa merekam apa yang keluarga besar nenek saya lakukan. Waktu itu saya adalah cucu terbesar di keluarga itu. Layaknya anak kecil lain yang tidak terlepas dari berbuat salah, saya pun terkadang atau justru mungkin sering melakukan salah, terbukti saya masih ingat betul saya lebih sering menangis daripada tertawa kala itu. Sebagai anak kecil yang tidak mempunyai kakak, maka tempat pelarian jika saya sedang bersedih seharusnya pada seseorang yang lebih tua (dewasa) yang sanggup meneduhkan hati saya yang sedang gundah gulana. Ini sekaligus menjadi sebuah pesan untuk semua orang tua yang sedang membesarkan anaknya, bahwa ketika anak bersedih yang ia harapkan hanyalah kasih sayang agar kesalahan yang ia perbuat tidak terulang kembali, namun kebanyakan orang tua salah cara untuk menyampaikannya, mereka lebih suka meneriaki anaknya karena kesal dengan tangisannya.

Bulik, adalah kata yang paling sering saya sebutkan di masa kecil saya. Terdengar begitu indah di telinga ketika sang pemilik nama tiba di hadapan saya. Sungguh! Ketika hati meronta-ronta kesakitan berharap ada yang bisa memeluknya, beliau lah bidadari yang Allah utus untuk saya. Padahal kala itu saya hanyalah seorang anak kecil yang tidak punya daya apapun, dan mungkin saya kala itu tidak memberi keuntungan apapun pada bulik saya, tapi rasa cinta bulik saya terhadap saya itu yang sangat luar biasa yang tidak saya dapatkan dari orang lain selainnya. Mungkin secara lahir beliau hanya memberi sedikit, tapi ketahuilah bulik -jika engkau membaca ini- engkaulah yang menguatkan hati ini ketika rasa putus asa untuk melanjutkan hidup menghampiri. Sebenarnya tanpa engkau sebutkan lagi apa jasa-jasamu padaku kala itu, pastilah saya akan lebih banyak menghafalnya dari engkau. Bulik, jika engkau membaca tulisan saya ini, saya ingin engkau tahu bahwa saya sangat menyayangi bulik. Maaf jika selama saya menjalani hidup saya belum bisa membalas jasa-jasa bulik. Saya berdoa semoga kita dipertemukan kembali di surga-Nya.

Numpang Curhat – Cacatnya Pengarang Kitab (Kacamata Saya)

Jadi ada suatu statement yang menjelaskan suatu materi yang mana seharusnya pengarang menuliskan contohnya namun tidak, justru menambahkan footnote bahwa contohnya sudah disebutkan di bab ini -mudahnya-.
Dalam hati saya membatin “Yaelah buu bu, ya enak kalo babnya satu bab persis sebelum bab ini, nyatanya udah kelewat satu bab lain, dan dari masing-masing bab pembahasan dan contohnya gak cuma satu dua, tapi seabreg. Gimana saya carinya?”

Sisi lain, pengarang kitab menuntut kita agar kita detail dalam membaca dan masih bersambung memahami dari bab ke bab, karena mereka semua itu saling berkesinambungan.

Tapi yang bikin saya tergelitik adalah panjang footnote-nya gak lebih pendek dari contoh yang seharusnya dituliskan. Kenapa gak elu tulis aja contohnya, atau copast kek? hehe.

Maaf kalo bahasanya kurang santun (tanpa mengurangi rasa ta’dzim saya terhadap ulama dan pengarang kitab), biar enak dibaca dan cuma sekedar hiburan. Terima kasih, silakan melanjutkan aktifitasnya kembali.

Mohon jangan sampai kualat dan ilmunya gak manfaat.

Mencari Kebenaran adalah Pelajaran Hidup

Dikisahkan, suatu hari saya menyaksikan seorang teman sedang mengkritik secara terang-terangan terhadap teman lain yang gemar menonton anime. “Apa sih itu faedahnya menonton anime seperti itu? Tidak ada faedahnya sama sekali.” kira-kira seperti itu ia berkomentar. Karena saya sendiri tidak begitu maniak dengan anime, maka saya masih membiarkannya. Beberapa hari kemudian saya mendapati teman yang dulu pernah mengkritik itu kini duduk bersanding dengan teman yang gemar menonton anime yang kala itu sempat dikritiknya, sedang asyik bersama menonton anime. Saya terkekeh di dalam hati. Bahkan beberapa hari berikutnya saya masih mendapatinya tengah asyik menonton anime, bahkan sendirian tanpa ditemani oleh teman yang menggemari anime itu. Bahkan saya mendapat laporan hingga ke materi-materi yang ia sampaikan pada bimbel yang ia ampu pun, ia kerap membanding-bandingan materi-materinya dengan anime, bahkan hingga meledek anak-anak didiknya jika mereka tidak mengetahuinya.

Ok, tidak berhenti hanya sampai disini. Di lain kesempatan, saya menyaksikannya tengah mengkritik fakultas dimana saya belajar. Karena ini bukan anime, ini fakultas yang dimana saya tercatat nama saya di dalamnya, maka hati ini tidak tahu mengapa agak sedikit dongkol mendengarnya, walaupun saya sendiri tidak menyukai fakultas saya, minimalnya saya tidak pernah menjelek-jelekkan fakultas saya. “Apa sih yang dipelajari di fakultas ***? Hanya itu-itu saja. Lalu untuk apa?” kira-kira seperti itu. Beruntung, pada waktu itu ada senior fakultas saya yang tengah berada disitu. Aku perhatikan seniorku itupun kesulitan untuk menjelaskannya. Karena memang harus terjun ke dalamnya dahulu agar turut bisa merasakan apa yang dirasakan oleh orang yang lebih berpengalaman di dalamnya. Dalam hati saya membatin “Andai saja, ia berkesempatan untuk merasakan betapa maremnya berkecimpung di dunia yang seperti anime yang dulu pernah ia kritik.”. Karena saya ini anak yang lemah, yang tidak mempunyai kekuatan apa-apa dibanding mereka-mereka, senior-senior dan junior-junior saya (majas litotes), maka alangkah lebih tenangnya jika saya hanya memendamnya di dalam hati.

Maka jangan salahkan Tuhan jika Ia menganugerahkan saya keahlian dalam menulis dan merangkai kata untuk mengekspresikan kata hati saya. Banyak sekali pelajaran yang bisa dipetik dari tulisan-tulisan saya. Lebih banyak makna tersirat dalam bahasa tubuh saya dibanding makna tersurat. Lebih banyak kata-kata yang saya torehkan dalam tinta daripada kata-kata yang saya lontarkan melalui lidah. Lebih banyak gagasan-gagasan dalam otak saya yang berseliweran daripada gagasan-gagasan yang saya untai dalam bentuk paragraf. Yang masih saya cari tahu kebenarannya, yang tidak tahu sampai kapan akan saya kubur lalu saya taburkan pada dunia. Untuk menjadi seperti saya, maka langkah yang harus ditempuh adalah menggunakan seluruh indera yang sudah Allah swt berikan kepada kita termasuk indera perasa, bukan lidah, melainkan hati. Untuk lidah, persedikitkan penggunaannya. Mata untuk MELIHAT, telinga untuk MENDENGAR, lidah untuk BERKALAM dan hati untuk MERASA. Mari menyelam bersama saya, tapi saya yakin anda tidak akan menyukainya. Jangankan suka, berkendakpun segan. Karena anda sekalian akan dirundung kesedihan yang tiada berujung. Kritik saya secara bijak, maka akan saya pertimbangkan, jika tidak maka akan saya abaikan.

Muhammad Fadhlurrohman Suwondo Renggan Dirjo