“Bulik..!”

Saya biasa memanggilnya Bulik Jibah. Beliau adalah bulik saya (Ibu Cilik). Mungkin bagi kalian itu hanya sebutan dari keponakan kepada buliknya. Tapi bagi saya sebutan itu memang pantas saya sandingkan untuk beliau. Beliau adalah sandaran hidup saya, harapan saya untuk bisa terus hidup, pelipur lara. Saya dahulu adalah seorang anak yang banyak menghabiskan waktunya di rumah. Tentunya keluarga adalah teman satu-satunya yang saya miliki. Saya korbankan kebahagiaan masa kecil saya, mengharap ada kebahagiaan lain yang menanti sebagai ganti. Tempat favorit saya kala itu adalah rumah nenek saya. Di sana saya bisa bertemu dengan bude, pade, bulik dan um saya. Sebagai seorang bocah yang semenjak kecil memingit diri dalam rumah, tentunya saya tidak mengetahui sama sekali bagaimana orang lain menjalani kehidupan mereka. Saya hanya bisa merekam apa yang keluarga besar nenek saya lakukan. Waktu itu saya adalah cucu terbesar di keluarga itu. Layaknya anak kecil lain yang tidak terlepas dari berbuat salah, saya pun terkadang atau justru mungkin sering melakukan salah, terbukti saya masih ingat betul saya lebih sering menangis daripada tertawa kala itu. Sebagai anak kecil yang tidak mempunyai kakak, maka tempat pelarian jika saya sedang bersedih seharusnya pada seseorang yang lebih tua (dewasa) yang sanggup meneduhkan hati saya yang sedang gundah gulana. Ini sekaligus menjadi sebuah pesan untuk semua orang tua yang sedang membesarkan anaknya, bahwa ketika anak bersedih yang ia harapkan hanyalah kasih sayang agar kesalahan yang ia perbuat tidak terulang kembali, namun kebanyakan orang tua salah cara untuk menyampaikannya, mereka lebih suka meneriaki anaknya karena kesal dengan tangisannya.

Bulik, adalah kata yang paling sering saya sebutkan di masa kecil saya. Terdengar begitu indah di telinga ketika sang pemilik nama tiba di hadapan saya. Sungguh! Ketika hati meronta-ronta kesakitan berharap ada yang bisa memeluknya, beliau lah bidadari yang Allah utus untuk saya. Padahal kala itu saya hanyalah seorang anak kecil yang tidak punya daya apapun, dan mungkin saya kala itu tidak memberi keuntungan apapun pada bulik saya, tapi rasa cinta bulik saya terhadap saya itu yang sangat luar biasa yang tidak saya dapatkan dari orang lain selainnya. Mungkin secara lahir beliau hanya memberi sedikit, tapi ketahuilah bulik -jika engkau membaca ini- engkaulah yang menguatkan hati ini ketika rasa putus asa untuk melanjutkan hidup menghampiri. Sebenarnya tanpa engkau sebutkan lagi apa jasa-jasamu padaku kala itu, pastilah saya akan lebih banyak menghafalnya dari engkau. Bulik, jika engkau membaca tulisan saya ini, saya ingin engkau tahu bahwa saya sangat menyayangi bulik. Maaf jika selama saya menjalani hidup saya belum bisa membalas jasa-jasa bulik. Saya berdoa semoga kita dipertemukan kembali di surga-Nya.